Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi pemilu (IDN Times/Aditya Pratama)

Yogyakarta, IDN Times - Pakar Politik Universitas Gadjah Mada (UGM), Arya Budi menyebut terdapat tiga hal membuat calon independen Pilkada 2024 menjadi minim peminat. 

"Pertama ada resonansi dari skema koalisi di Pilpres, Pileg kemarin ya. Pilkada ini dirasakan cuma sekitar berapa bulan dari Pemilu di Februari," ujar Dosen Departemen Politik dan Pemerintahan (DPP) UGM itu, Jumat (24/5/2024).

1. Koalisi di tingkat pusat hingga para fungsionaris partai maju pilkada

Bendera partai politik di Kantor KPU. (IDN Times/Muhammad Nasir)

Arya menjelaskan beberapa partai masih mempunyai semacam fatsun politik, bahkan sentimen politik dari koalisi nasional, terutama antara partai pemenang atau partai di Koalisi Indonesia Maju. Terlebih terdapat sentimen PDIP dengan partai-partai pendukung Prabowo Subianto - Gibran Rakabuming Raka.

"Nah itu satu hal menjelaskan para kandidiat mengkristal ke dalam partai-partai berdasar skema itu. Ada skema koalisi yang beresonansi ke bawah, karena jarak Pemilu tidak jauh. Kedua karena fatsun dan sentimen politik yang mengalir dari atas ke bawah dari DPP ke pimpinan daerah partai dan para kandidiatnya," jelas Arya.

Selain ini beberapa kandidat yang sebelumnya para fungsionaris partai, dan mantan caleg berbelok arah maju di Pilkada. "Suka tidak suka, terlepas mengikuti kaderisasi atau tidak, mereka berproses melalui partai. Attachment mereka para kandidiat terhadap partai maupun politisi di partai itu yang menjelaskan mereka maju melalui partai dibanding independen, karena merasa mempunyai jaringan bahkan investasi di parpol," jelas Arya.

2. Syarat calon independen cukup berat

Editorial Team