Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur Dasar Kementerian Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan (Kemenko Infra), Muhammad Rachmat Kaimuddin. (IDN Times/Herlambang Jati Kusumo)
Rachmat menambahkan, teknologi yang digunakan dalam proyek waste to energy sebagian besar mengadopsi sistem incinerator, proses pembakaran sampah dengan suhu tinggi yang juga menghasilkan energi panas untuk pembangkitan listrik. Meski demikian, teknologi ini harus disesuaikan dengan kondisi lokal, termasuk volume, jenis, dan kalori sampah, agar hasilnya optimal.
“Teknologinya relatif baru di Indonesia. Jadi mungkin teknologinya kadang-kadang harus dipilih dulu ya, yang paling tepat mana. Ini kemarin minta juga teman-teman Danantara untuk membantu. PLN juga tentunya untuk mengecek teknologi mana sih yang paling pas, supaya bisa optimal. Ya listrik yang dihasilkan bisa reliable tentunya,” ujar Rachmat.
Rachmat mengungkapkan nantinya ada beberapa daerah yang menjadi prioritas. Jika nantinya sudah siap, bisa diperluas ke daerah lainnya. “Sudah ada yang operasional menggunakan Perpres lama. Kalau yang baru dibuat biasanya butuh waktu 1,5 – 2 tahun, setelah selesai Perpresnya, payung hukum tersedia,” ungkap Rachmat.
Rachmat mengungkapkan mengubah sampah menjadi energi ini juga bisa menjadi solusi untuk mengurangi dampak yang ditimbulkan karena sampah, seperti banjir salah satunya. Namun, dalam pengolahan dia juga menekankan pembakaran yang dilakukan harus terkontrol dan berstandar, agar tidak menimbulkan polusi udara. “Karena misal plastik dibakar sembarangan dengan suhu terendah bisa ada senyawa beracun yang keluar. Makannya perlu saat dibakar gak sembarangan,” kata Rachmat.