Pembebasan PBB, Lahan Produktif di Bantul Mulai Didata

- Pemerintah Kabupaten Bantul membebaskan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) untuk 12 ribu hektare lahan produktif demi mencegah alih fungsi lahan dan menjaga ketahanan pangan.
- Program pembebasan PBB ini menjadi realisasi janji politik Bupati dan Wakil Bupati terpilih periode 2025-2030, namun ada kekhawatiran potensi salah sasaran.
- Verifikasi ulang dilakukan pada sawah produktif yang telah beralih fungsi agar program pembebasan PBB tepat sasaran, terutama di kawasan perbatasan antara Bantul dan Kota Yogyakarta serta jalur utama Kabupaten Bantul.
Bantul, IDN Times - Pemerintah Kabupaten Bantul berencana membebaskan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) untuk lebih dari 12 ribu hektare lahan atau sawah produktif pada tahun 2026. Program ini diharapkan dapat mencegah alih fungsi lahan, meringankan beban petani, serta menjaga produktivitas pangan demi mewujudkan ketahanan pangan di Bumi Projotamansari.
Kebijakan ini juga menjadi salah satu realisasi janji politik Bupati dan Wakil Bupati terpilih periode 2025–2030. Namun, di balik program yang berpihak pada petani ini, muncul kekhawatiran soal potensi salah sasaran. Sebab, tak sedikit lahan produktif yang sudah berubah menjadi permukiman, tetapi pajaknya masih tercatat sebagai lahan persawahan.
Lantas, langkah apa yang akan diambil Pemkab Bantul agar program pembebasan PBB yang diperkirakan mengurangi pendapatan daerah hingga Rp1 miliar ini benar-benar tepat sasaran?
1. Akui sudah banyak lahan produktif yang beralih fungsi menjadi rumah hingga tempat usaha

Wakil Bupati Bantul, Aris Suharyanta, mengatakan bahwa program pembebasan PBB untuk lahan produktif merupakan janji kampanye pasangan Abdul Halim Muslih dan dirinya saat Pilkada Bantul. Program ini rencananya akan mulai direalisasikan pada 2026 mendatang.
“Tentu kita sadar bahwa saat ini banyak lahan atau sawah produktif telah beralih fungsi menjadi rumah atau bahkan tempat usaha seperti warung, toko atau restoran serta rumah,” ujarnya, Selasa (20/5/2025).
Ia menjelaskan, lahan produktif yang berubah fungsi menjadi bangunan di zona hijau tidak bisa diproses menjadi pekarangan dan tidak bisa mendapatkan izin mendirikan bangunan (IMB). Karena itu, pajaknya tetap tercatat sebagai lahan sawah.
“Tentu pemerintah tidak akan membebaskan PBB sawah produktif yang beralih fungsi tersebut,” tegasnya.
2. Libatkan dukuh untuk pendataan ulang lahan produktif di wilayahnya masing-masing
Oleh karenanya, Pemkab Bantul meminta seluruh dukuh melalui pemerintahan kalurahan untuk melakukan verifikasi ulang terhadap keberadaan sawah produktif yang telah beralih fungsi. Langkah ini diambil agar program pembebasan PBB untuk lahan produktif tidak salah sasaran.
"Harapannya, verifikasi ulang sawah yang masih produktif dan belum beralih fungsi bisa selesai pada Desember 2025. Jadi, program pembebasan PBB bisa kita eksekusi mulai 2026. Ini juga bagian dari janji politik kami saat kampanye pilkada lalu," tegas Aris.
Aris menambahkan, potensi lahan produktif yang beralih fungsi paling banyak terjadi di kawasan perbatasan antara Bantul dan Kota Yogyakarta seperti Kapanewon Banguntapan, Sewon, dan Kasihan. Selain itu, perubahan fungsi juga mulai marak di jalur utama Kabupaten Bantul, seperti Jalan Parangtritis, Jalan Bantul–Pantai Samas, dan wilayah sekitar kota Bantul.
"Kita melihat di Jalan Parangtritis dan Jalan Bantul-Samas mulai marak bangunan restoran hingga bangunan lainnya. Sebenarnya daerah itu merupakan zona hijau dan tidak boleh dibangun bangunan karena dikhususkan untuk lahan pertanian," ucapnya.
3. Pembebasan PBB lahan produktif menyasar lahan produktif seluas 12.831 hektar

Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Bantul, Joko Waluyo menyampaikan bahwa program pembebasan PBB untuk lahan pertanian produktif tahun 2026 akan menyasar sekitar 12.831 hektar lahan. Seluruh lahan tersebut telah masuk dalam kategori lahan pertanian berkelanjutan di Kabupaten Bantul.
"Terbanyak lahan produktif yang masuk dalam lahan pertanian berkelanjutan berada di sejumlah kapanewon seperti Kapanewon Bambanglipuro, Kretek, Imogiri, Jetis, Pandak, Sanden hingga Kapanewon Srandakan," ucapnya.
Agar program ini tepat sasaran, Joko menekankan pentingnya peran dukuh untuk mendata ulang lahan produktif di wilayah masing-masing. Pasalnya, banyak lahan yang dulunya digunakan untuk bertani kini sudah berubah fungsi menjadi rumah, restoran, atau bangunan lain.
"Tentu kalau sudah beralih fungsi maka tidak akan mendapatkan program pembebasan PBB lahan produktif," ucapnya.
Joko juga menyebutkan bahwa dari total 12.831 hektar lahan pertanian berkelanjutan di Bantul, produksi gabah kering panen per tahun mencapai 240 ribu ton. Jumlah itu dinilai cukup untuk mencukupi kebutuhan pangan masyarakat Bantul dan sekitarnya. Selain gabah, Bantul juga menghasilkan palawija dan hortikultura seperti jagung, cabai, hingga bawang merah.
"Bahkan Bantul ini penyuplai kebutuhan bawang terbesar di DIY," ujarnya.