Jembatan Pandansimo Bantul.(Dok.Istimewa)
Vederieq menjelaskan, jembatan yang menghubungkan Kabupaten Bantul dan Kulon Progo itu dibangun selama 18 bulan menggunakan sejumlah teknologi. Salah satunya adalah corrugated steel plate (CSP), yaitu baja bergelombang yang digunakan dalam 27 span dengan diameter berbeda-beda.
Selain itu, jembatan juga dilengkapi dengan lead rubber bearing (LRB) sebagai bantalan karet untuk meredam gempa dan likuefaksi. Teknologi ini mampu menyerap energi gempa dan mengurangi gaya yang diteruskan ke struktur jembatan, sehingga dapat mengurangi risiko kerusakan dan memperpanjang usia jembatan.
"Jadi intinya Jembatan Pandansimo sudah bisa untuk meredam gempa dan likuifaksi," tuturnya.
Tak hanya itu, Jembatan Pandansimo juga menggunakan teknologi mechanically stabilized earth wall (MSE Wall) pada area jalan pendekat. Teknologi ini dinilai lebih ringan, fleksibel terhadap pergerakan tanah, dan tahan gempa dibandingkan dinding beton konvensional.
Jembatan sepanjang 2,3 kilometer dengan lebar 24 meter ini juga dilengkapi teknologi mortar busa sebagai material pengisi ringan. Teknologi tersebut berfungsi untuk mengurangi beban struktur, mempercepat konstruksi, mengurangi tekanan tanah, dan menyerap getaran gempa.
"Selain ada empat teknologi itu, jembatan ini juga dilengkapi dengan tiga plaza. Plaza A ada di Kulon Progo kemudian plaza B dan ujung plaza C. Adanya tiga plaza masyarakat bisa menggunakannya untuk area terbuka, tapi khusus pejalan kaki," jelasnya.
Jembatan yang dibangun menggunakan dana APBN sebesar Rp863,729 miliar ini juga dilengkapi CCTV dan pengeras suara untuk memantau aktivitas masyarakat. Area jembatan dilarang digunakan untuk berjualan atau tempat kendaraan berhenti di bahu jalan.
"Yang ketangkap CCTV akan kita ingatkan dan diberi peringatan dengan pengeras suara yang terpasang di sejumlah titik. Jalan pedestrian Jembatan Pandansimo diciptakan untuk jalan kaki di sepanjang Jembatan Pandansimo," tuturnya.