Pelaku perusakan enam pos polisi di wilayah DIY diringkus. (IDN Times/Tunggul Damarjati)
ARS mengakui melakukan aksinya karena terdorong selepas melihat berbagai unggahan di media sosial tentang aksi perusakan pos polisi selama unjuk rasa di beberapa daerah, termasuk DIY pengujung Agustus 2025.
Kendati, Pandia menyebut jika ARS tidak ikut aksi berujung kericuhan di Mapolda DIY, Sleman pada akhir Agustus 2025. Kapolresta menekankan, motif pelaku semata ikut-ikutan.
Sepenuturan Pandia, tidak ada keterlibatan pihak lain di balik aksi ARS kecuali sosok DSP yang membantu merakit molotov.
"Modus operandi melempar pos polisi dengan molotov dan batu adalah ikut-ikutan karena melihat medsos pengerusakan di beberapa kantor polisi," kata Pandia.
Pandia juga mengungkap status ARS sebagai residivis kasus penganiayaan yang sudah tiga kali diproses hukum.
Dari kasus ini, polisi mengamankan beberapa barang bukti, di antaranya sepeda motor dan molotov serta pakaian yang dikenakan pelaku ARS saat beraksi.
Kedua pelaku ditetapkan sebagai tersangka. ARS dikenakan Pasal 187 ke-1 e, Pasal 187 ke-2 e KUHP. Ketiga, Pasal 187 ke-1e jo Pasal 53 ayat (1) KUHP. Keempat, Pasal 187 ke-2 e jo Pasal 53 ayat 1 KUHP. Dari semua pasal ini, ARS berpotensi menghadapi ancaman hukuman maksimal 15 tahun pidana penjara.
Sementara DSP dijerat Pasal 187 ke-1 e Jo Pasal 56 ke-1e KUHP, Pasal 187 ke-2e Jo Pasal 56 ke-1e KUHP. Ketiga, Pasal 187 ke-1 e Jo Pasal 53 ayat 1 Jo Pasal 56 ke-1e KUHP. Keempat, Pasal 187 ke-2e Jo Pasal 53 ayat 1 Jo Pasal 56 ke-1e KUHP. Dari semua pasal itu, DSP berpotensi menghadapi ancaman hukuman maksimal 5 tahun pidana penjara.