Normalisasi, Tantangan Berat Menghapus Kekerasan Seksual

Laki-laki perlu diajak berefleksi tentang maskulinitasnya

Sleman, IDN Times - Penghapusan kekerasan seksual masih menjadi PR besar bagi masyarakat Indonesia. Dosen Pidana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Sri Wiyanti Eddyono, mengatakan salah satu faktor penyebab kekerasan seksual adalah adanya relasi kuasa yang tidak setara antara pelaku dan korban.

"Kalau di kampus itu, misalnya, antara mahasiswa yang lebih senior ke yang lebih junior, dosen ke mahasiswa, staf akademik senior ke junior. Relasi-relasi ini berpengaruh terhadap terjadinya kekerasan," ujarnya dalam diskusi LASAK Vol. II: Selaksa Karsa Wanita Indonesia yang digelar oleh BEM KM UGM di Sleman, 30 April 2021.

Menurut perempuan yang akrab disapa Iik ini, kekerasan seksual terus berlangsung karena nilai-nilai yang menempatkan perempuan sebagai objek sudah tertanam dan masuk ke dalam struktur di masyarakat. Hal ini menjadi tradisi yang membuat kekerasan seksual seolah-olah dianggap normal dan tak perlu dipersoalkan.

Baca Juga: Saat WFH Ayah, Suami dan Pacar Dominasi Pelaku Kekerasan di Jogja 

1. Normalisasi justru dilakukan oleh pihak-pihak yang dibutuhkan penyintas

Normalisasi, Tantangan Berat Menghapus Kekerasan SeksualIlustrasi kekerasan seksual (IDN Times/Arief Rahmat)

Dalam diskusi yang sama, Direktur Advokasi Hopehelps UGM, Judith Gracia, mengungkapkan normalisasi kekerasan seksual juga dilakukan aparat penegak hukum maupun orang-orang di sekitar penyintas. Padahal, pihak-pihak ini justru dibutuhkan oleh penyintas untuk menyelesaikan kasusnya.

"Susahnya adalah ketika kita menghadapi normalisasi dari orang-orang yang sebenarnya kita butuhkan. Kita butuh kampus, kita butuh keluarga korban untuk men-support korban, kita butuh polisi," paparnya.

Sayangnya, lanjut Judith, budaya patriarki yang masih kental dari pihak-pihak ini sering kali membuat korban enggan melanjutkan kasusnya. Jadi, penyintas tak hanya menghadapi trauma dari kekerasan seksual yang dialaminya, tapi juga normalisasi dari orang-orang di sekitarnya.

2. Tidak ada kontribusi yang tidak signifikan

Normalisasi, Tantangan Berat Menghapus Kekerasan SeksualDirektur Advokasi Hopehelps UGM, Judith Gracia (tengah). (IDN Times/Paulus Risang)

Judith menambahkan, untuk menghapus normalisasi kekerasan seksual di masyarakat, kontribusi dari setiap individu sangatlah penting. Kontribusi ini bisa dilakukan mulai dari hal-hal kecil, seperti mencari lingkaran sosial yang positif dan supportif, maupun membagikan konten-konten edukasi terkait kekerasan seksual.

"Gak ada kontribusi yang tidak signifikan. Kontribusi sekecil apapun, itu berguna," terangnya. 

Menurutnya, semua orang bisa bergerak untuk membantu korban, membantu menghapus normalisasi kekerasan seksual dalam kultur patriarki.

3. Laki-laki perlu diajak merefleksikan maskulinitasnya

Normalisasi, Tantangan Berat Menghapus Kekerasan SeksualIlustrasi kekerasan (IDN Times/Sukma Shakti)

Di penghujung diskusi, Iik menyebutkan bahwa menghapus kekerasan seksual tak bisa hanya berfokus pada pihak perempuan yang menjadi korban. Laki-laki pun perlu diajak berefleksi tentang maskulinitasnya.

Pasalnya, laki-laki mempelajari seksualitasnya dengan cara yang jauh berbeda dengan perempuan.  "Kalau tidak kita bongkar, tidak kita diskusikan tentang maskulinitas ini, ini gak pernah nyambung dengan perempuan," katanya.

Untuk menghapuskan kekerasan seksual, lanjut Iik, semua pihak perlu bicara soal gender serta belajar tentang seksualitas dan maskulinitas.

"Kita perlu memberikan ruang pada laki-laki untuk berefleksi, sehingga nanti para laki-laki juga akan menjadi pihak yang mendukung penghapusan kekerasan (seksual) kepada semua," tuturnya. Apalagi, laki-laki juga bisa memiliki pengalaman menjadi korban kekerasan seksual, yang menurut Iik, lebih sering ditutup-tutupi karena nilai maskulinitas yang mereka anut.

Baca Juga: Masalah Sampah Tak Kunjung Usai, BEM KM UGM Kritik dengan Cara Kreatif

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya