Pasien Leptospirosis yang Meninggal di Kota Jogja Capai 6 Jiwa

- Kasus leptospirosis terjadi di 11 kemantren di Kota Yogyakarta
- Tingkat kematian mencapai 31% karena pasien terlambat diobati
- Enam pasien meninggal, termuda berusia 17 tahun dan terlambat mendapat perawatan medis
Yogyakarta, IDN Times - Jumlah kasus leptospirosis di Kota Yogyakarta tercatat bertambah menjadi 19 per 8 Juli 2025. Dari jumlah tersebut, enam pasien dinyatakan meninggal dunia.
“Sampai dengan semester I (2025) saat ini sudah menyentuh di angka 19 kasus. Yang cukup memprihatinkan, kematiannya cukup tinggi, 6 kasus,” ujar Kepala Bidang Pencegahan, Pengendalian Penyakit, Pengelolaan Data dan Sistem Informasi Dinkes Kota Yogyakarta, Lana Unwanah, Kamis (10/7/2025), dilansir ANTARA.
1. Kasus leptospirosis tersebar di 11 kemantren

Leptospirosis diketahui sebagai penyakit infeksi yang disebabkan bakteri Leptospira. Penularannya terjadi melalui air atau tanah yang telah tercemar urine tikus terinfeksi.
Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta melaporkan, sebaran kasus leptospirosis tahun ini ditemukan di 11 kemantren. Jetis dan Tegalrejo menjadi wilayah dengan jumlah kasus terbanyak, masing-masing tiga kasus.
Sementara itu, kasus kematian tercatat di lima wilayah, yakni Pakualaman, Gedongtengen, Wirobrajan, Jetis, dan dua kasus lainnya ditemukan di Ngampilan.
“Tiga kemantren yang masih bebas kasus yakni Kraton, Danurejan, dan Gondomanan,” ujarnya.
2. Pasien terlambat diobati

Tingkat kematian akibat leptospirosis di Kota Yogyakarta tahun ini tercatat mencapai 31 persen dari total kasus yang ada. Tingginya angka tersebut disebut berkaitan dengan keterlambatan pemeriksaan, terutama karena gejala penyakit ini tidak spesifik.
Gejala awal seperti demam, sakit kepala, dan pegal sering kali dianggap sebagai keluhan ringan, seperti masuk angin atau kelelahan.
“Gejala klinisnya tidak spesifik, sehingga sering kali pasien tidak menyangka terinfeksi leptospirosis. Banyak yang merasa hanya sakit biasa karena kelelahan atau kehujanan, jadi tidak segera mencari pertolongan medis,” kata Lana.
Dari pengamatan Dinas Kesehatan, sebagian besar pasien baru datang ke fasilitas kesehatan setelah kondisinya memburuk. Salah satu kasus meninggal terbaru, yaitu pasien ke-19, mulai mengalami gejala sejak 30 Juni 2025. Pasien baru mendatangi rumah sakit pada 7 Juli dan meninggal sehari setelahnya, pada 8 Juli.
Pasien sempat diperiksa di rumah sakit tipe D yang tidak memiliki fasilitas hemodialisis, sebelum akhirnya dirujuk ke rumah sakit rujukan. “Namun, belum sempat cuci darah, pasiennya sudah meninggal,” ujarnya.
3. Pasien yang meninggal paling muda 17 tahun

Dari enam pasien leptospirosis yang meninggal, korban termuda diketahui berusia 17 tahun dan masih berstatus pelajar. Sementara itu, pasien terakhir yang meninggal berusia sekitar 50 tahun.
Lana menjelaskan, gangguan ginjal akibat infeksi leptospirosis bersifat akut dan berbeda dengan gagal ginjal kronis. Kondisi ini disebut dapat pulih jika penanganan dilakukan sejak dini.
“Kalau ditangani sejak awal, termasuk bila perlu cuci darah, pasien bisa sembuh dan tidak perlu lagi menjalani cuci darah rutin,” kata dia.