ilustrasi perempuan berjemur sinar matahari (pexels.com/Julian Jagtenberg)
Menurut Ronny, sinar matahari menjadi persoalan bagi orang-orang yang tinggal di wilayah subtropis atau memiliki empat musim. Pasalnya, sinar matahari menjadi hal langka di wilayah tersebut saat musim dingin. Kondisi ini menjadi tidak menyenangkan bagi orang dengan Seasonal Affective Disorder (SAD).
“SAD ini merupakan gangguan suasana perasaan hati terkait musim yang banyak terjadi di negara dengan empat musim dan menguat saat musim dingin. Gangguan ini jarang terjadi di negara tropis,” ucapnya.
Namun, di negara tropis yang memiliki keberlimpahan paparan sinar matahari, termasuk Indonesia, tidak sedikit yang justru kurang mendapatkan asupan sinar matahari. Terlebih pada pekerja kantoran dan anak-anak yang menjalani sekolah full day.
Keduanya menjadi kelompok yang berisiko karena lebih sering berada di dalam ruangan sepanjang hari yang minim akses cahaya matahari dan hanya dengan penerangan buatan. Ditambah di tengah kondisi pandemi COVID-19, penerapan bekerja maupun sekolah dari rumah untuk menekan penyebaran COVID-19.
Untuk mengatasi hal tersebut, Ronny pun menyarankan perlunya pengaturan paparan cahaya matahari. Salah satunya dengan berjemur di pagi hari. Selain itu, dapat dilakukan dengan melakukan pengaturan tempat kerja atau sekolah. Upayakan setiap ruangan di kantor, sekolah, maupun rumah mendapatkan akses masuknya cahaya matahari.
“Hidupkan lagi tradisi dede (berjemur) karena tidak untuk mengaktifkan vitamin D, namun juga menjaga suasana hati itu terbukti secara ilmiah,” paparnya.