Pakar tata hukum tata negara, Zainal Arifin Mochtar alias Uceng. (IDN Times/Tunggul Damarjati)
Ketiga, lanjut Uceng, MK memang tak pernah memiliki rekam jejak berlaku independen secara baik di hadapan kepentingan politik. Pengamatan dia, hakim MK kini terbagi ke dalam tiga genre. Pertama, hakim yang benar-benar menjadi pahlawan keadilan; kedua, mereka yang terafiliasi kepentingan politik; dan ketiga, para hakim yang berdiri di tengah alias 'mengambang'.
Kata Uceng, putusan MK diambil berdasarkan kemampuan kelompok politik mendekati para hakim yang berdiri di tengah dan menjadikannya suara mayoritas. Hasil pengamatan Uceng, beberapa sengketa yang menyangkut politik selalu demikian situasinya.
"Misalnya, undang-undang MD3 berkaitan angket waktu itu yang angket terhadap KPK. Kalau anda masih ingat putusan itu betul-betul putusan garis tengah, jadi akhirnya KPK bisa diangket sepanjang tidak mengangket penegakan hukumnya jadi betul-betul mencari garis tengah akhirnya," terang Uceng.
Contoh lain adalah ketika MK menjatuhkan putusan menolak permohonan gugatan uji formil dan materi UU Nomor 6 Tahun 2023 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-undang (UU Ciptaker).
UU yang sempat dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh MK pada 2021 lalu diganti Perppu 2/2022 dan jadi UU 6/2023 itu dinyatakan tetap berlaku saat ini.
Pada putusan lima permohonan gugatan UU Ciptaker yang dibacakan 2 Oktober 2023 silam diwarnai pendapat berbeda (dissenting opinion) dari empat hakim konstitusi.
"Ditolak tapi conditionally konstitusional, dugaan saya adalah sebenarnya ada yang menolak ada yang mau mempertahankan. Akhirnya apa, dicari titik tengah supaya bisa dikuasai yang tengah ini bergabung sama hal tertentu. Makanya jadinya 5 (lawan) 4 dibatalkan undang-undang Cipta kerja tetapi diberlakukan secara conditionally konstitusional. Jadi seringkali putusan MK selalu kayak seakan-akan cari titik tengah," terang Uceng.
Demikian halnya putusan MK menyangkut sengketa Pilpres 2024 kemarin. Pemilihan titik tengah ditunjukkan dengan hakim yang tidak membatalkan kepesertaan Gibran Rakabuming sebagai cawapres, tapi menawarkan pemungutan suara ulang di beberapa provinsi bermasalah.
"Padahal itu tidak dimohonkan oleh pemohon, pemohon tidak memintakan itu tapi seakan-akan dicari di tengah supaya kemudian bisa ke tengah dan berusaha membujuk hakim yang tengah untuk ke situ, tapi ternyata tidak ada yang terbujuk, sehingga putusannya menjadi tiga (hakim dissenting), tiba-tiba kayak membangun logika sendiri. Ya boleh sih tapi seakan-akan mencari logika sendiri di luar dari pemaparan yang dilakukan," pungkasnya.