Rapat paripurna DPR RI mengesahkan RUU KUHAP menjadi UU. (IDN Times/Amir Faisol)
Pakar Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr. Muhammad Fatahillah Akbar, menilai istilah yang digunakan dalam konteks penyitaan, penggeledahan, penangkapan, dan penahanan pada UU KUHAP yang baru tidak menunjukkan perubahan substansial dibanding KUHAP 1981.
“Tidak memiliki perbedaan mendasar. Tapi itu kelemahannya, seharusnya dalam pembaharuan hukum pidana terdapat pembaharuan yang lebih mengedepankan HAM. Berbicara koalisi masyarakat sipil tentu berkaitan dengan hak asasi manusia. Seharusnya ada judicial seperti ini, setiap penangkapan, penahanan itu semestinya ada keputusan dari Pengadilan Negeri. Hal-hal semacam itu yang belum diakomodir oleh KUHAP baru, padahal sebenarnya sudah ada di dalam KUHAP sebelumnya,” ujarnya dalam diskusi Pojok Bulaksumur, Kamis (20/11/2025), dilansir laman resmi UGM.
Lebih lanjut, Akbar menyoroti aturan mengenai kewenangan penyadapan dalam KUHAP. Ia mengingatkan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi menegaskan penyadapan harus diatur secara rinci, dan tidak boleh dilakukan tanpa landasan undang-undang yang jelas.
“Nampaknya KUHAP baru ini tidak menjelaskan secara eksplisit bahwa penyadapan dilarang sebelum ada undang-undang. Bagaimanapun melakukan perekaman diam-diam, penyadapan itu ada pengaturannya dan harus mengacu kepada undang-undang begitu,” terang Akbar.