Ilustrasi pengadilan. (IDN Times/Sukma Shakti)
Selanjutnya, Inda menerangkan perihal penghentian penyidikan oleh Polresta Sleman, di mana pembuktian mengenai ada tidaknya unsur pidana semestinya dilakukan dalam proses persidangan.
"Hal ini sangat penting untuk mencari kebenaran materiil yang dalam bebeberapa hal tidak dapat dijangkau oleh Undang-Undang PT," ujarnya.
Sementara pada agenda persidangan sebelumnya memeriksa M. Arif Setiawan, pakar pidana selaku saksi ahli pemohon. Keterangan yang disampaikan di persidangan dilandasi keberatan atas penghentian penyidikan oleh Penyidik dari Polresta Sleman.
"Penghentian penyidikan dilakukan oleh penyidik dengan alasan bukan tindak pidana, sedang menurut pemohon, kasus itu kasus pidana yang fakta dan kronologinya juga tidak dibantah oleh penyidik," ujarnya.
Pakar hukum pidana dari Fakultas Hukum UII ini memaparkan, penyidik telah menyimpulkan bahwa pihak terlapor selaku direktur PT bertindak untuk dan atas nama korporasi yang dia pimpin. Sehingga, terlapor tidak bisa dimintai pertanggungjawaban pidana karena bagi penyidik KUHP tidak mengenal pertanggungjawaban pidana korporasi.
Adapun pemohon mendasarkan ketentuan dari Pasal 59 KUHP, bahwa sekalipun pihak terlapor bertindak untuk dan atas nama korporasi, bukan berarti tidak ada pidana jika melakukan pelanggaran.
"Jadi dalam kasus tersebut sebenarnya bukan soal tidak adanya fakta hukum tentang dugaan pelanggaran Pasal 266 KUHP, namun soal perbedaan cara melihat Pasal 59 KUHP antara pemohon dengan termohon," ujarnya.
Ia menyatakan, apabila hakim praperadilan sependapat dengan argumentasi pemohon dan mengabulkan permohonan praperadilannya, maka hakim akan membatalkan surat perintah penghentian penyidikan dan penetapannya serta memerintahkan penyidik untuk melanjutkan penyidikan.
"Sehingga perkaranya wajib diteruskan kepada penuntut umum untuk proses selanjutnya agar kebenaran dan keadilan dapat ditentukan oleh hakim yang nantinya memeriksa dan mengadili perkara tersebut," pungkasnya.