Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App

P3KHAM UNS Beri 4 Saran Soal Kebijakan Keadilan Restoratif

FGD Pusat Penelitian dan Pengembangan Konstitusi dan Hak Asasi Manusia (P3KHAM) Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS). (Dok. Istimewa)
Intinya sih...
  • Kebijakan keadilan restoratif menuai pro dan kontra di masyarakat
  • Rekomendasi untuk perbaikan pelaksanaan kebijakan keadilan restoratif
  • Konsep keadilan restoratif telah diakomodasi dalam sistem peradilan pidana di Indonesia

Iklan - Scroll untuk Melanjutkan

Yogyakarta, IDN Times - Kebijakan keadilan restoratif menjadi salah satu terobosan hukum yang masih menuai pro dan kontra di masyarakat. Dalam praktiknya, kebijakan ini kerap menimbulkan kecurigaan di antara aparat penegak hukum, seolah menjadi ajang adu prestasi. Selain itu, pelaksanaannya juga masih terkesan lebih banyak berasal dari aparat penegak hukum, bukan dari korban kejahatan.

“Praktik kebijakan keadilan restoratif ini rawan digugat melalui pra peradilan oleh pihak di luar aparat penegak hukum dan korban kejahatan karena dianggap menyimpang dari penegakan hukum pidana konvensional. Sementara gagasan keadilan restoratif adalah menyeimbangkan keadilan dalam perspektif kepentingan pelaku kejahatan, korban atau keluarga korban, serta proses hukum yang adil,” ujar Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Konstitusi dan Hak Asasi Manusia (P3KHAM) Universitas Sebelas Maret (UNS), Heri Hartanto, usai Focus Group Discussion (FGD) di Hotel Santika Yogyakarta.

1. Rekomendasi yang diberikan

Ilustrasi hukum (IDN Times/Arief Rahmat)

Dalam FGD ini, P3KHAM UNS memberikan sejumlah rekomendasi sebagai masukan untuk perbaikan pelaksanaan kebijakan keadilan restoratif ke depan. Pertama, diperlukan mekanisme checks and balances antara aparat penegak hukum (APH), seperti polisi, jaksa, dan hakim, dalam menerapkan kebijakan ini. Mekanisme tersebut perlu diatur lebih ketat agar ada pengawasan yang jelas. Misalnya, jaksa sebagai dominus litis dapat memberikan supervisi kepada kepolisian dalam proses penyidikan guna mencegah potensi penyalahgunaan wewenang saat menangani perkara pidana.

Kedua, pengawasan publik terhadap pelaksanaan keadilan restoratif juga perlu diperkuat di semua tingkatan, baik di kepolisian, kejaksaan, maupun pengadilan. Pengawasan ini bertujuan meningkatkan partisipasi masyarakat sekaligus memastikan kebijakan keadilan restoratif berjalan secara adil bagi semua pihak, baik korban, pelaku, maupun masyarakat luas.

2. Perlunya UU yang memayungi kebijakan keadilan restoratif

Ilustrasi Hukum (IDN Times/istimewa)

Ketiga, diperlukan undang-undang yang dapat menjadi payung hukum bagi kebijakan keadilan restoratif dengan memasukkan norma keadilan restoratif dalam revisi KUHAP. Langkah ini bertujuan menyelaraskan berbagai regulasi terkait kebijakan tersebut, yang selama ini masih bersifat internal di masing-masing lembaga penegak hukum. Perbedaan aturan internal ini kerap menimbulkan persepsi yang beragam dan ego sektoral dalam penerapannya, sehingga berpotensi menimbulkan ketidakadilan dan ketidakpastian hukum.

Keempat, revisi KUHAP juga dinilai penting untuk memperkuat fungsi dan peran aparat penegak hukum, baik dalam hal koordinasi maupun mekanisme checks and balances.

"FGD ini merupakan bagian dari tanggung jawab akademik dan kepedulian P3KHAM UNS terhadap pelaksanaan kebijakan keadilan restoratif dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, yang hingga kini masih menghadapi tantangan dalam mewujudkan keadilan dan kepastian hukum," ujar Heri.

3. Sejumlah narasumber ikut menuangkan pikiran

FGD Pusat Penelitian dan Pengembangan Konstitusi dan Hak Asasi Manusia (P3KHAM) Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS). (Dok. Istimewa)

Sejumlah narasumber dari berbagai latar belakang profesi hadir dalam FGD ini. Mereka terdiri dari akademisi hukum dari berbagai perguruan tinggi, seperti FH UGM, FH UII, FH UNS, dan FH UMY, serta hakim, jaksa, advokat, pemerhati hukum, dan mahasiswa fakultas hukum dari DIY dan Jawa Tengah.

Guru Besar Hukum dan Pembangunan Sistem Peradilan FH UNS, Prof. Hari Purwadi, menjelaskan bahwa sistem penegakan hukum pidana selama ini lebih menitikberatkan pada keadilan retributif, yang berfokus pada pelaku kejahatan. Sementara itu, aspek keadilan bagi korban dan masyarakat masih sering terabaikan.

Dalam FGD juga dibahas bahwa konsep keadilan restoratif telah diakomodasi dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Penerapannya dilakukan melalui penghentian proses hukum, baik pada tahap penyelidikan, penyidikan, maupun penuntutan, dengan mengacu pada berbagai regulasi, seperti KUHAP, UU Kejaksaan, dan sejumlah Peraturan Mahkamah Agung (Perma).

Beberapa Perma yang telah diterbitkan terkait kebijakan ini antara lain Perma No. 2 Tahun 2012 tentang batasan tindak pidana ringan dan jumlah denda dalam KUHP, Perma No. 4 Tahun 2014 tentang pedoman diversi dalam sistem peradilan anak, Perma No. 1 Tahun 2020 tentang pedoman pemidanaan dalam kasus korupsi, serta Perma No. 1 Tahun 2024 tentang pedoman mengadili perkara pidana berdasarkan keadilan restoratif.

Selain itu, dua lembaga penegak hukum utama, yakni Kejaksaan dan Kepolisian, juga telah menerbitkan aturan terkait. Kejaksaan mengeluarkan Peraturan Kejaksaan No. 15 Tahun 2020 tentang penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif, sementara Polri menerbitkan Peraturan Kapolri No. 8 Tahun 2021 yang mengatur penanganan tindak pidana berbasis keadilan restoratif.

Share
Editorial Team