Mengapa Insiden Intoleransi di Yogyakarta Terus Terjadi?

Yogyakarta masih relevan sebagai City of Tolerance?

Yogyakarta, IDN Times - Kasus intoleransi di Yogyakarta mulai diketahui publik sejak tahun 2000, saat terjadi pembubaran acara "Kerlap-kerlip Kedaton" di Kaliurang, Sleman. 

Diolah dari berbagai sumber, kasus intoleransi di Yogya dari tahun 2000 hingga 2016 terjadi sebanyak 71 kasus, 2017 sebanyak 9 kasus. Di tahun 2018 sebanyak 6 kasus.  Di tahun 2019, kita kembali dikagetkan kasus Slamet Jumiarto yang ditolak menetap oleh perangkat Dusun Pedukuhan Karet, Desa Pleret, Bantul, karena beragama Katolik. 

Sebenarnya mengapa insiden tersebut bisa terjadi di kota yang mempunyai julukan city of tolerance ini? 

Baca Juga: Slamet dan Keluarga Belum Putuskan Akan Pindah Atau Menetap

1. Menguatnya politik identitas di masyarakat

Mengapa Insiden Intoleransi di Yogyakarta Terus Terjadi?ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A

Menurut Dosen Fakultas Ilmu Budaya UGM Achmad Munjid, penyebab terjadinya kejadian intoleransi di Yogyakarta merupakan kombinasi dari beberapa faktor, salah satunya politik identitas yang semakin menguat.

“Sejak reformasi politik identitas semakin lama semakin mengeras dan hal itu menjadi alat paling mudah untuk berebut kepentingan politik dan ekonomi. Politik identitas biasanya memberikan ruang yang lebih luas bagi kelompok mayoritas dengan mengatasnamakan perasaan tak aman, dalam posisi terancam, atau direbut hak-haknya,” katanya.

Baca Juga: Dadang: Pemilu 2019 Akan Didominasi Hoaks dan Politik Identitas

2. Budaya toleransi yang semakin luntur

Mengapa Insiden Intoleransi di Yogyakarta Terus Terjadi?IDN Times/Sukma Shakti

Lebih lanjut, Achmad Munjid menyebutkan pudarnya budaya toleransi di masyarakat dan pemahaman makna toleransi yang tak tepat juga ikut berperan. Menurutnya, gejala budaya toleransi yang meredup tampak dari munculnya fenomena pemukiman, makam, atau tempat tinggal eksklusif berdasarkan agama tertentu.

Sementara itu, ia mengatakan bahwa saat ini kata toleransi banyak dimaknai sebagai sikap menerima orang lain asalkan mereka tidak bersikap macam-macam. “Padahal yang namanya toleransi harusnya enggak pakai syarat,” terangnya.

3. Menurut pengamat, pelakunya adalah kelompok garis keras

Mengapa Insiden Intoleransi di Yogyakarta Terus Terjadi?Polisi memasang Police Line usai penyerangan di Gereja St Lidwina, Sleman - IDN Times/Yogie Fadila

Insiden intoleransi di Yogyakarta, lebih lanjut menurut Achmad Munjid, dilakukan oleh kelompok Islam garis keras.

“Secara umum bisa dikatakan kelompok Islam garis keras. Ketika ada kegiatan misalnya pembubaran acara bakti sosial gereja Katolik, pelarangan sedekah laut di Srandakan, penyerangan diskusi Irshad Manji di LKis, itu dilakukan hampir semuanya oleh kelompok Islam garis keras,” ujarnya.

4. Negara dan masyarakat terkesan diam

Mengapa Insiden Intoleransi di Yogyakarta Terus Terjadi?Insiden pemotongan nisan salib Kotagede, Yogyakarta - IDN Times/Yogie Fadila

Faktor penegakan hukum yang lemah juga menjadi alasan mengapa insiden toleransi terjadi di Yogyakarta.

“Secara umum law enforcement di Yogyakarta lembek. Misal, diskusi dengan Irshad Manji di LKis, mereka datang, obrak-abrik, itu kan sebetulnya ada foto, videonya. Itu kalau polisi mau menangkap gampang sekali,” katanya.

Tak hanya penegakan hukum, Achmad Munjid mengatakan unsur kepemimpinan terkait sikap berpihak terhadap keragaman, toleransi pun tak secara konsisten dilakukan oleh pemimpin, pemuka, dan tokoh masyarakat.

Hal yang sama disampaikan Sosiolog Argo Twikromo. Dirinya menyoroti peran serta negara yang dinilai kurang hadir, dan kebanyakan masyarakat justru memilih sikap diam karena dinilai aman dalam menghadapi peristiwa kekerasan.

Walaupun  sikap tersebut merupakan pilihan yang relatif aman, di sisi lain dapat membuka peluang  para aktor intoleran untuk mengulang peristiwa yang menimbulkan keharmonisan kehidupan bersama.

"Apalagi karena permainan politik identitas atau “pelintiran kebencian” merupakan strategi yang relatif jauh dari jangkauan aparat negara, jeratan hukum atau kontrol masyarakat yang sebagian besar relatif bersikap diam."

5. Pelaku justru menjadi pahlawan

Mengapa Insiden Intoleransi di Yogyakarta Terus Terjadi?Suasana aksi massa pendukung Bahar Bin Smith di Bandung - IDN Times/Galih Persiana

Dosen Universitas Atma Jaya Yogyakarta ini membeberkan sikap diam dipilih karena pelaku kekerasan justru dianggap sebagai sosok yang dielu-elukan saat melakukan pembubaran atau penyerangan.

"Acap kali justru tuduhan, atau alasan-alasan kurang mendasar digunakan untuk menyalahkan pihak korban, dan para pelaku tindakan intoleran, diskriminatif, atau kekerasan dengan melibatkan kelompok massa justru dianggap sebagai “pahlawan” yang membantu aparat pemerintah atau pemangku kepentingan dalam menjaga ketertiban umum, keamanan, atau keharmonisan masyarakat," terang Argo.

Hal ini masih ditambah dengan berbagai permainan politik identitas untuk mendapatkan legitimasi dan logika pemikiran yang dapat diterima secara umum.

Baca Juga: Kasus Slamet dan Kejadian Intoleransi di Yogyakarta

Topik:

  • Febriana Sintasari
  • Yogie Fadila

Berita Terkini Lainnya