Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi tabung oksigen medis (ANTARA FOTO/Novrian Arbi).

Yogyakarta, IDN Times – Sabtu, 3 Juli 2021, malam belum terlalu larut ketika mesin oksigen High Flow Nasal Cannula (HFNC) yang digunakan ibunya Baryanto untuk menaikkan saturasi oksigen dalam darahnya tiba-tiba berbunyi. Tiiiit…tiiit…

Baryanto (36) yang tengah menunggu ibunya, Siti Zaenab, yang dirawat itu terhenyak. Tergopoh dia mencari dokter jaga dan perawat di ruang Instalasi Gawat Darurat (IGD) Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr Sardjito, Yogyakarta. Apalagi dalam selisih 10-15 menit kemudian, bunyi serupa terdengar saling susul dari jenis mesin yang sama yang dipakai pasien lain di ruang itu. Seingat Baryanto, suasana IGD yang riuh itu berlangsung sejak pukul 21.00-22.00 WIB.

“Lagi ada gangguan mesin di pusat untuk keseluruhan Sardjito,” kata Baryanto mengutip penjelasan dokter setempat melalui wawancara daring pada 13 Juli 2021.

Sejak itu, saturasi oksigen ibunya terus menurun. Hingga ibunya tak lagi tertolong di pergantian malam, Minggu, 4 Juli 2021 pukul 01.00.

Berdasarkan data RSUP Sardjito, ada 63 pasien yang meninggal sedari pukul 07.00 WIB tanggal 3 Juli 2021 hingga 07.00 WIB tanggal 4 Juli 2021. Namun hanya 33 pasien yang meninggal sejak pukul 20.00 WIB pada 3 Juli 2021. Pada pukul 20.00 itulah, menurut keterangan Direktur RSUP Sardjito sebelumya, Rukmono Siswishanto, oksigen cair di rumah sakit itu habis kemudian digantikan oksigen tabung untuk penanganan medis pasien.

“Dan pasien meninggal bukan karena oksigen cair habis. Tapi karena kondisi klinis yang memburuk,” kata Rukmono dalam siaran pers tertanggal 4 Juli 2021. Melalui liputan kolaborasi COVID-19 yang terdiri dari jurnalis IDN Times, Kompas, CNN TV, Gatra, VOA Indonesia, Tirto.id, dan Harian Jogja mengulas di balik tragedi kematian memilukan tak sampai 24 jam itu.

Hidup ibu yang bergantung pada oksigen

Kematian pasien di RSUP Sardjito 3-4 Juli 2021. Data Kolaborasi Liputan COVID-19

Siti Zaenab yang berusia 69 sudah menggunakan oksigen tabung sejak isolasi mandiri usai dinyatakan positif COVID-19. Namun ketika oksigen tabung habis, saturasinya menurun dari 82-85 menjadi 62-63.

Tabung oksigen yang baru diisi tak bisa menaikkan saturasinya kembali. Baryanto yang juga tengah menjalani isolasi mandiri langsung membawa ibunya ke Sardjito Jumat malam setelah beberapa rumah sakit di Klaten, kota tempat tinggalnya, menolak untuk merawat.

Ketergantungan ibunya terhadap oksigen masih berlanjut sesampai di Sardjito. IGD pun penuh, sehingga ibunya dirawat sehari semalam di Poli COVID dengan penanganan terapi oksigen yang tak bertekanan tinggi menggunakan nonrebreathing oxygen face mask (NRM). Lantaran saturasi naik turun yang tak beraturan, Sabtu pukul 17.00, dia dipindahkan ke IGD. Dengan mesin oksigen HFNC tekanan tinggi, saturasi ibunya berangsur naik hingga 80-85.

Kondisi itu tak bertahan lama. Usai mesin HFNC berbunyi karena disebut ada kerusakan mesin, dokter memutuskan untuk mengganti dengan oksigen biasa sekitar pukul 23.00-24.00. Saat mesin dihentikan itu, saturasi ibunya langsung turun menjadi 50. Setelah diganti dengan NRM dan diberi tekanan 50, saturasi naik menjadi 70, tetapi tak pernah lagi sampai angka 86 seperti sebelumnya.

Meski oksigen yang diambil masih dari sentral (oksigen cair), tetapi alat yang digunakan tak lagi bertekanan tinggi. Saturasi langsung drop dari semula 60-70 menjadi 60-50-40-50 dan terakhir 20-30. Ibunya pun dipindah ke ruang intensif yang berdekatan dengan meja dokter pada pukul 23.00 agar bisa langsung dipantau.

Satu jam kemudian, dokter pun menjelaskan risiko yang mungkin terjadi apabila pasien kelelahan napas, yaitu bisa mengalami henti napas atau pun gagal jantung. Kalau dilakukan tindakan dimungkinkan bisa memperbaiki detak jantung. Namun dampak lainnya, tak bisa memperbaiki kondisi ibunya karena oksigen tak bisa diserap dengan baik.

“Dokter bilang kondisi ibu sudah fifty-fifty. Kami diminta bersiap, karena mesin juga belum bisa ditanggulangi,” kata Baryanto yang terus mendampingi ibunya selama dirawat di rumah sakit.

Dari kemungkinan risiko itu, Baryanto menyatakan pihak keluarga sudah mengikhlaskan ibu. Dia juga khawatir apabila tindakan pans malah akan membuat tulang rusuk ibunya patah.

“Ibu akan kesakitan. Ya sudah kalau sampai ibu enggak ada, saya minta jangan dilakukan tindakan pans,” kata Baryanto.

Usai itu, dia pamit makan. Saat kembali, ibunya sudah dinyatakan meninggal sekitar pukul 01.00 WIB.

Di ruang forensik, Baryanto sempat bertemu dokter yang menolong ibunya. Dokter itu meminta maaf atas kondisi krisis oksigen yang tengah terjadi.

“Oksigen sudah ditambah tiga kali lipat dari biasanya. Karena banyak pasien yang masuk Sardjito dan banyak rumah sakit yang menolak, konsumsi oksigen di Sardjito jadi banyak sekali,” papar Baryanto mengutip dokter itu.

Sejauh ini, Baryanto meyakini ibunya meninggal karena stok habis. Mengingat sejak dipacu HFNC, saturasi ibunya naik tetapi menurun lagi usai mesin HFNC diganti alat oksigen biasa. Hingga kini pun, tak ada klarifikasi berkaitan penyebab ibunya meninggal dari pihak rumah sakit.

Tanpa komorbit, hanya saturasi kurang

Editorial Team

Tonton lebih seru di