Prosesi sarat makna sejarah penyatuan kampung. (dok. Pemkot Jogja)
Rangkaian acara dimulai dengan kirab pasukan Bregodo dan gunungan berisi aneka camilan. Prosesi dilanjutkan dengan pengikatan sapu lidi, penancapan bendera, doa bersama, hingga perebutan gunungan oleh masyarakat. Ketua Panitia Merti Golong Gilig, Mahadeva Wahyu Sugianto, menjelaskan bahwa tradisi ini lahir dari sejarah penyatuan dua kampung, yakni Kintelan dan Numbal Anyer, yang kemudian menjadi Kampung Dipowinatan.
“Semangat bersatu, golong gilig menjadi satu, terus kita uri-uri setiap tanggal 18 Agustus. Dalam acara ini ada pembagian makanan, bukan karena tidak butuh uang, tetapi sebagai ungkapan suka cita warga untuk bersatu dan merayakan HUT RI dengan menyediakan berbagai makanan secara gratis. Sekaligus ajang promosi bagi UMKM kami yang cukup banyak,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa pengikatan sapu lidi dalam prosesi ini melambangkan persatuan warga, sementara penancapan bendera Merah Putih menjadi simbol kesepakatan bersama. “Harapan kami kampung ini bisa gemah ripah lohjinawi, warganya selalu guyup rukun,” pungkas Mahadeva.