Menhut Cabut PBPH, Pakar UGM: Langkah Usang

Intinya sih...
- Maryudi menilai pencabutan izin 18 perusahaan pengelolaan hutan sebagai langkah usang dan bukan fenomena baru.
- Perusahaan yang dicabut izinnya dianggap eksploitatif dan mengedepankan keuntungan sesaat, tanpa komitmen terhadap keberlanjutan hutan.
- Maryudi mempertanyakan mekanisme pemberian izin yang seringkali tidak melibatkan evaluasi lingkungan yang memadai, seperti AMDAL.
Sleman, IDN Times - Guru Besar Kebijakan Kehutanan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM), Ahmad Maryudi, menilai langkah Menteri Kehutanan, Raja Juli Antoni mencabut Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) 18 perusahaan pengelolaan hutan adalah langkah usang.
Pencabutan PBPH ini seperti diketahui dilakukan dengan alasan bahwa para perusahaan pengelola tersebut dianggap tidak melestarikan hutan dengan baik.
1. Banyak perusahaan memang berharap izinnya dicabut
Maryudi mengatakan, dirinya tidak terlalu antusias dan berharap banyak dari adanya keputusan pemerintah tersebut ini dikarenakan hal pencabutan PBPH bukanlah merupakan fenomena baru.
Menurutnya, hal semacam ini telah ada sejak 1990-an saat era kejayaan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan (IUPHH) karena terbukti tidak berkomitmen untuk mengelola hutan secara bertanggung jawab. Alhasil, menimbulkan banyak kerusakan lingkungan, deforestasi dan degradasi hutan.
Dia tak memungkiri bahwa masih banyak perusahaan yang terus berkomitmen dan bertahan untuk mengelola hutan dengan baik. Kendati, Maryudi berujar, perusahaan yang telah dicabut izinnya memang berkarakter eksploitatif dan mengedepankan keuntungan sesaat.
Bagaimanapun ia mempertanyakan kejadian seperti ini kembali terulang dan tidak ada hukuman maupun efek jera buat para perusahaan yang tak mengelola hutan secara baik. Bahkan, Maryudi beranggapan banyak perusahaan itu sebenarnya memang berharap agar izinnya dicabut.
"Hal ini dikarenakan potensi hutan yang jauh menurun dan mereka ingin menghindari tanggung jawab yang lebih besar," kata Maryudi dikutip dari laman resmi UGM, Selasa (11/2/2025).
2. Bukan soal dicabut, tapi bagaimana izin diberikan
Sekalipun hukum dan regulasi sudah ada, lanjut Maryudi, efek jera yang ditimbulkan dari pencabutan izin atau sanksi lainnya dianggap masih terbatas.
Maryudi menekankan, mekanisme pemberian izin juga sepatutnya dipertanyakan. Pasalnya, sering kali tidak melibatkan evaluasi lingkungan yang memadai, seperti analisis dampak lingkungan (AMDAL).
"Masalahnya bukan soal dicabut atau tidak, tapi bagaimana izin itu diberikan. Banyak perusahaan yang belum memenuhi persyaratan, tetapi tetap mendapat izin. Bahkan di era desentralisasi, ada yang membeli izin," terangnya.
3. Food estate juga bisa tak luput
Berkaca dari kejadian yang sering berulang seperti ini, Maryudi memperkirakan proyek-proyek seperti lahan gambut sejuta hektare dan food estate yang didesain untuk ketahanan pangan bakal mengalami hal serupa.
Musababnya, tujuan akhirnya adalah untuk membabat habis sumber daya hutan.
"Jika sekarang ada pencabutan izin di Papua, perlu diperiksa apakah kawasan-kawasan tersebut sebenarnya dimaksudkan untuk konversi atau untuk tujuan lain," tegas Maryudi.
Melalui keputusan pencabutan izin perusahaan pengelolaan hutan ini, Maryudi menegaskan, pemerintah tentu wajib memiliki kebijakan yang jelas dan lebih selektif dalam memilih perusahaan. Sekaligus memastikan perusahaan yang mengantongi izin benar-benar memiliki komitmen terhadap keberlanjutan dan konservasi hutan, bukan sekadar mengeksploitasi untuk keuntungan jangka pendek.
Raja Juli Antoni sebelumnya secara resmi mencabut PBPH 18 perusahaan pengelolaan hutan, dengan luas area konsesi yang dicabut mencapai 526.144 hektare tersebar dari Aceh hingga Papua.
Pencabutan ini dilakukan dengan alasan bahwa para perusahaan pengelola tidak melestarikan hutan dengan baik.