Mengintip Kreasi Lulusan Arsitektur yang Gak Sebatas Jadi Arsitek

Sleman, IDN Times – Sejak masuk di pintu gedung Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri (PKKH) Universitas Gadjah Mada (UGM), pengunjung sudah disambut instalasi gerbang yang apik. Besi-besi kerangka bangunan dipasang berbentuk kotak yang disusun memanjang seperti lorong. Pengunjung dibawa memasuki lorong besi kerangka itu.
Menurut Koordinator Week of Art, Architecture and Urbanism (WA+U), Bernard ‘Ben’ Sihombing, pameran para alumni Departemen Arsitektur dan Perencanaan UGM itu adalah festival kreatif. Yang dipamerkan adalah profil dan karya alumni Arsitektur UGM yang tidak semua jadi arsitek.
“Yang arsitek hanya 20 persen. Mayoritas korban-korban yang enggak jadi arsitek,” kata Ben yang menyebut diri sebagai provokator WA+U (dibaca watu) saat memandu awak media melihat karya-karya yang dipamerkan, Rabu (18/12).
Mayoritas adalah arsitek yang kemudian berfokus sebagai pelestari bangunan bersejarah, seniman instalasi, ilustrasi, sinematografi, fotografi, animasi, juga desainer fashion.
“Latar belakang pendidikan arsitektur, tapi keluarannya bisa bebas jadi siapa saja. Bakat semangat passion-nya ada di sana,” kata Ben.
Dengan berjalan mengitari ruang pamer berlawanan dengan jarum jam, perjalanan kami dimulai.
1. Arsitek bisa mengkritik perkembangan teknologi lewat seni instalasi
Mata kami langsung berserobok dengan karya Retno Mayasari yang biasa dipanggil Onno. Alumni Arsitektur yang mulai kuliah Angkatan 1988 itu membuat karya instalasi yang diberi judul Badai Literasi. Ada instalasi berbentuk otak di atas meja. Kemudian dikelilingi ribuan simcard telepon seluler dari aneka provider yang direkatkan pada tali plastik yang dipasang secara spiral.
Karyanya mengkritik kemajuan teknologi yang bak pisau bermata dua. Satu sisi memberi kemudahan dan meningkatkan kreativitas.
“Sisi lain memporakporandakan struktur logika penggunanya,” kata Onno.