Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi. (Dok. UGM)
Terpisah, pengamat ekonomi energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi mengingatkan kenaikan harga minyak dunia akibat eskalasi konflik Israel-Iran akan berdampak langsung pada perekonomian Indonesia.
Hal itu lantaran Indonesia masih bergantung pada impor energi. Dia memperkirakan harga minyak mentah global bisa melampaui 100 dolar AS per barel jika ketegangan terus meningkat.
"Sebagai net-importer, kenaikan harga minyak dunia sudah pasti akan berpengaruh terhadap perekonomian Indonesia," kata Fahmy dikutip dari keterangan tertulis, Rabu (18/6/2025).
Fahmy mengutip proyeksi JP Morgan yang menyebut harga minyak dunia dapat melonjak hingga 130 dolar AS per barel jika Iran menutup Selat Hormuz, jalur utama distribusi minyak global. "Dalam kondisi tersebut, pemerintah dihadapkan pada dilema dalam penetapan harga BBM di dalam negeri," ujarnya.
Dia menjelaskan, jika harga BBM subsidi tidak disesuaikan, beban anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) akan meningkat. Selain itu, lonjakan harga minyak global akan memperbesar kebutuhan devisa untuk impor BBM, yang berdampak pada pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
Sebaliknya, jika harga BBM subsidi dinaikkan, akan terjadi tekanan inflasi yang memicu kenaikan harga kebutuhan pokok dan menekan daya beli masyarakat.
Fahmy meminta pemerintah tidak menyampaikan pernyataan yang terkesan menyepelekan dampak konflik Israel-Iran terhadap perekonomian nasional. Pemerintah perlu bersikap realistis dengan menetapkan harga BBM subsidi berdasarkan indikator yang terukur.
Menurutnya, jika harga minyak dunia masih berada di bawah 100 dolar AS per barel, maka tidak perlu ada penyesuaian harga BBM subsidi. Kecuali apabila harga minyak menembus di atas itu.
"Kalau harga minyak dunia mencapai di atas 100 dolar AS per barel, pemerintah tidak punya pilihan lain kecuali menaikkan harga BBM subsidi, agar beban APBN untuk subsidi tidak memberatkan," ujarnya.