Mendag Sebut RI Siapkan Pasar Baru Ekspor, Berharap Konflik Iran-Israel Mereda

- Pemerintah telah menyelesaikan perjanjian ekspor baru dengan Uni Eropa, Eurasian Economic Union, dan Tunisia.
- Data terbaru menunjukkan peningkatan ekspor Indonesia hingga April 2025, meskipun ada potensi dampak dari konflik Iran-Israel.
- Kenaikan harga minyak dunia akibat eskalasi konflik Israel-Iran dapat berdampak langsung pada perekonomian Indonesia, terutama dalam penetapan harga BBM subsidi.
Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Sleman, IDN Times - Pemerintah sudah mempersiapkan antisipasi dampak perang Iran dan Israel. Menteri Perdagangan Budi Santoso menyebut pemerintah RI telah menuntaskan sejumlah perundingan untuk pembukaan pasar baru ekspor Indonesia.
Di satu sisi, Budi juga berharap konflik atau peperangan Iran dan Israel segera mereda menghidari dampak berkepanjangan di sektor ekspor.
1. Tuntaskan perjanjian ekspor baru

Budi menuturkan, Indonesia telah merampungkan perjanjian Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA), serta Perundingan Indonesia–Eurasian Economic Union Free Trade Agreement (I–EAEU FTA).
Demikian pula perjanjian kerja sama ekonomi dengan Tunisia juga sudah diselesaikan tahapannya. "Itu pasar-pasar baru yang besar yang kita bisa masuk ke sana," kata Budi ditemui di UGM, Sleman, DIY, Jumat (20/6/2025).
2. Data ekspor terakhir baru Januari-April

Dalam kesempatan ini, Budi pun turut merespons perang antara Iran dan Israel yang tengah berlangsung hingga hari ini, serta potensi dampaknya ke sektor ekspor RI.
Budi menyebut perang kedua negara di Timur Tengah itu meletus sejak 13 Juni 2025 kemarin, sedangkan kementeriannya terakhir baru memiliki data ekspor Januari-April tahun ini.
"Ekspor kita Januari-April tetap meningkat 6,65 persen. Jadi, dari statistik belum ada masalah. Mudah-mudahan nggak ada masalah. Dan mudah-mudahan perangnya selesai," kata Budi.
3. Eskalasi konflik dan dampaknya ke ekonomi RI

Terpisah, pengamat ekonomi energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi mengingatkan kenaikan harga minyak dunia akibat eskalasi konflik Israel-Iran akan berdampak langsung pada perekonomian Indonesia.
Hal itu lantaran Indonesia masih bergantung pada impor energi. Dia memperkirakan harga minyak mentah global bisa melampaui 100 dolar AS per barel jika ketegangan terus meningkat.
"Sebagai net-importer, kenaikan harga minyak dunia sudah pasti akan berpengaruh terhadap perekonomian Indonesia," kata Fahmy dikutip dari keterangan tertulis, Rabu (18/6/2025).
Fahmy mengutip proyeksi JP Morgan yang menyebut harga minyak dunia dapat melonjak hingga 130 dolar AS per barel jika Iran menutup Selat Hormuz, jalur utama distribusi minyak global. "Dalam kondisi tersebut, pemerintah dihadapkan pada dilema dalam penetapan harga BBM di dalam negeri," ujarnya.
Dia menjelaskan, jika harga BBM subsidi tidak disesuaikan, beban anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) akan meningkat. Selain itu, lonjakan harga minyak global akan memperbesar kebutuhan devisa untuk impor BBM, yang berdampak pada pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
Sebaliknya, jika harga BBM subsidi dinaikkan, akan terjadi tekanan inflasi yang memicu kenaikan harga kebutuhan pokok dan menekan daya beli masyarakat.
Fahmy meminta pemerintah tidak menyampaikan pernyataan yang terkesan menyepelekan dampak konflik Israel-Iran terhadap perekonomian nasional. Pemerintah perlu bersikap realistis dengan menetapkan harga BBM subsidi berdasarkan indikator yang terukur.
Menurutnya, jika harga minyak dunia masih berada di bawah 100 dolar AS per barel, maka tidak perlu ada penyesuaian harga BBM subsidi. Kecuali apabila harga minyak menembus di atas itu.
"Kalau harga minyak dunia mencapai di atas 100 dolar AS per barel, pemerintah tidak punya pilihan lain kecuali menaikkan harga BBM subsidi, agar beban APBN untuk subsidi tidak memberatkan," ujarnya.