Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
 Pranata Mangsa adalah sistem kalender musim tradisional Jawa.
Pranata Mangsa adalah sistem kalender musim tradisional Jawa. (IDN Times/Arief Rahmat)

Intinya sih...

  • BMKG mencatat anomali suhu di DIY

  • Pemahaman pranata mangsa menurun di generasi muda

  • Tim PKM-RSH UGM dorong pengakuan pranata mangsa sebagai warisan budaya

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Sleman, IDN Times – Pergeseran iklim yang dirasakan masyarakat, khususnya petani dan nelayan di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), mendorong mahasiswa UGM meneliti pranata mangsa. Pengetahuan tradisional Jawa ini sejak lama dipakai sebagai pedoman membaca tanda alam, tapi kini menghadapi tantangan karena pewarisannya semakin melemah.

Penelitian dilakukan lima mahasiswa UGM melalui Program Kreativitas Mahasiswa Riset Sosial Humaniora (PKM-RSH), Nasywan Dody Kurniawan, Muhammad Lodhi Firmansyah, Mochammad Rafli Nur Setyawan, Fayyadh Faliha Faruq, dan Safrina Auliya Maruni.

1. Anomali suhu ganggu pertanian dan nelayan

ilustrasi nelayan (IDN Times/Khusnul Hasana)

Nasywan Dody Kurniawan mengungkapkan, menurut data BMKG pada 31 Agustus 2024, wilayah DIY mengalami anomali pendinginan antara -2,0°C hingga -0,5°C dari kondisi normal 21°C–26°C. Kondisi ini dinilai bisa memengaruhi pola migrasi ikan dan hasil tangkapan nelayan, sekaligus mengganggu aktivitas pertanian.

“Kearifan lokal pranata mangsa hadir sebagai pengetahuan tradisional masyarakat agraris Jawa yang sejak lama digunakan untuk membaca tanda-tanda alam,” ujar Nasywan dikutip laman resmi UGM.

Ia menambahkan pranata mangsa tidak hanya berfungsi sebagai kalender musim tanam, tetapi juga pedoman nelayan menentukan waktu melaut. “Kami berusaha melihat bagaimana pengetahuan kalender jawa ini dipahami nelayan dan petani, serta sejauh mana pedoman ini masih dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari,” ungkapnya.

2. Pemahaman generasi muda makin menurun

Ilustrasi Petani Muda Indonesia (IDNTImes/Aditya)

Hasil penelitian di sembilan pantai dan dua belas area sawah di Jogja menunjukkan adanya perbedaan pemahaman antar generasi. Menurut Muhammad Lodhi Firmansyah, pada kelompok nelayan berusia 60 tahun ke atas, tingkat pemahaman pranata mangsa masih mencapai 71,54 persen. Namun, pada generasi muda usia 15–30 tahun hanya 51,27 persen.

Hal yang sama juga terjadi pada petani. “Untuk kelompok usia lanjut tingkat pemahaman sebesar 65,32 persen, sementara generasi muda (Gen Z) hanya 42,22 persen. Temuan ini menggiring pada simpul pewarisan pengetahuan tradisional ini semakin melemah seiring berjalannya waktu,” terang Lodhi.

Ia menilai kondisi ini perlu ditindaklanjuti dengan strategi konservasi yang melibatkan generasi muda. “Padahal pranata mangsa ini berpotensi mendukung adaptasi perubahan iklim dan ketahanan pangan,” jelasnya.

3. Dorong pengakuan sebagai warisan budaya

Tim PKM-RSH Pranata Mangsa (ugm.ac.id)

Tim PKM-RSH UGM berharap hasil kajian ini tidak hanya berhenti di ranah akademik, melainkan juga menjadi bahan pertimbangan kebijakan daerah. Menurut Lodhi, pranata mangsa seharusnya bisa diusulkan sebagai warisan budaya takbenda Indonesia.

“Agar eksistensinya tetap terjaga, dunia melalui UNESCO semoga mengingat pranata mangsa ini belum masuk sebagai warisan budaya takbenda. Harapannya penelitian ini bisa menjadi pijakan awal untuk menghubungkan pengetahuan tradisional dengan sains modern. Dengan begitu pranata mangsa tetap hidup sebagai kearifan lokal yang relevan menghadapi perubahan iklim,” pungkas Lodhi.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team