Faiq mengungkapkan berdasarkan temuan awal komunitas ini memiliki sisi ganda. “Dari berbagai temuan awal, tim melihat bahwa Komunitas Marah-Marah memiliki dua sisi yang kontras. Di satu sisi, komunitas ini memberikan ruang bagi pengguna untuk mengekspresikan diri tanpa rasa takut akan penghakiman, dan menciptakan rasa keterhubungan emosional antarpengguna. Di sisi lain, komunitas ini juga menjadi tempat subur bagi penyebaran komentar bernada negatif dan diskriminatif, pelanggaran privasi, bahkan memicu cyberbullying,” ucapnya.
Ia menambahkan dalam satu unggahan bisa saja ditemukan dukungan emosional, tetapi di saat bersamaan juga ada komentar ofensif. Kompleksitas inilah yang mendorong tim PKM-RSH Fisipol UGM mendalami riset terhadap komunitas tersebut.
Lewat riset ini, tim berharap bisa berkontribusi dalam memperkuat literasi digital masyarakat. Selain laporan ilmiah dan artikel akademik, mereka juga menyiapkan kampanye edukasi mengenai etika komunikasi dan batas ekspresi di media sosial.
“Hasil riset ini juga diharapkan dapat mendukung penyusunan kebijakan oleh Kementerian Komunikasi dan Digital Republik Indonesia melalui policy brief yang menekankan etika bermedia serta pembentukan karakter warganet yang kritis, empatik, dan bertanggung jawab,” ujar Faiq.