Museum Sonobudoyo Yogyakarta. Instagram/museumsonobudoyo
Cikal bakal Museum Sonobudoyo berawal dari kongres Java Institute di tahun 1924 yang memutuskan mendirikan sebuah museum berlokasi di Yogyakarta, dengan mengumpulkan data kebudayaan dari Jawa, Madura, Bali, dan Lombok.
Dua tahun setelah dimulainya kegiatan pengumpulan data kebudayaan dari daerah-daerah tersebut, dibentuklah Panitia Perencana Pendirian Museum dengan salah satu anggotanya adalah Ir. Thomas Karsten yang merupakan arsitek museum ini. Nama Sonobudoyo sendiri berasal dari kata Sono yang artinya tempat dan Budoyo yang artinya budaya.
Bangunan calon museum tersebut didirikan di tanah bekas shouten, yaitu itu semacam kantor kepolisian pada zaman Hindia Belanda, yang bernama Schout Djogjakarta, dibangun oleh BOW (Burggerlijke Openbare Werken) di tahun 1870-an. Rumah dinas Schout didirikan di atas tanah milik Kasultanan Yogyakarta yang merupakan tanah hadiah dari Sri Sultan Hamengkubuwono VIII.
Bangunan bekas Schout tersebut saat ini menjadi bagian dari ruang pamer utama yang terletak di belakang Pasren. Awal pembangunan museum ini ditandai dengan candra sengkala “Buta ngrasa estining lata”, melambangkan tahun 1865 dalam penanggalan Jawa atau tahun 1934 Masehi.
Sri Sultan Hamengkubuwono VIII meresmikan museum ini pada 6 November 1935, atau Rabu Wage, 9 Ruwah 1866 dalam penanggalan Jawa. Peristiwa ini ditandai dengan candra sengkala “Kayu Winayang Ing Brahmana Budha”.