Suasana kafe di pusat perbelanjaan di Yogyakarta (IDN Times/Yogie Fadila)
Sore itu pada pertengahan November 2023, IDN Times bertandang ke kawasan Prawirotaman. Masuk dari arah timur Jalan Gerilya sejauh 100 meter dan melewati tiga kafe, kamu akan menemukan Sellie Coffee. Kafe ini terkenal karena pernah dijadikan lokasi pengambilan gambar untuk film Ada Apa Dengan Cinta 2 (2016).
Setelah bicara panjang lebar soal maraknya kafe di Yogyakarta, Andri, Sekretaris Komunitas Kopi Nusantara, dengan serius mengemukakan kekhawatirannya. Tren konsumsi kopi terus meningkat, sementara pasokan kopi terus menurun.
“Kita sih mau agak gila-gilaan bikin campaign kurangi ngopinya. Maksudnya, kopinya agak diirit-irit. Direm-rem gitu. Misalnya, kopi hari ini cukup 2 gelas sehari.”
Lho, kok… Ada apa dengan kopi?
Badan Pusat Statistik (BPS), melalui publikasi Statistik Kopi Indonesia 2022 (edisi November 2023), mencatat penurunan produksi kopi sebesar 1,43 persen pada 2022 dibanding tahun sebelumnya.
Secara umum, perkebunan kopi di Indonesia dapat dibedakan menjadi dua kategori, yaitu Perkebunan Rakyat (PR) dan Perkebunan Besar (PB), yang terdiri dari Perkebunan Besar Negara (PBN) dan Perkebunan Besar Swasta (PBS).
Selama tiga tahun terakhir, luas lahan perkebunan kopi milik perusahaan besar mengalami penurunan, seiring dengan alih fungsi lahan. Luas lahan perkebunan negara turun sebesar 3,79 persen pada tahun 2021 dan 12,99 persen pada tahun 2022. Demikian pula, luas lahan perusahaan swasta turun sebesar 10,14 persen pada tahun 2021 dan 5,56 persen pada tahun 2022.
Penurunan luas lahan juga terjadi pada perkebunan rakyat sebesar 0,91 persen atau 11.439 hektare pada tahun 2022 dibandingkan tahun sebelumnya, menurut data Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian. Areal kopi perkebunan rakyat di Indonesia mengalami penurunan dari 1,257 juta hektare pada tahun 2021 menjadi 1,246 juta hektare pada tahun 2022.
Pada 2021, total areal perkebunan kopi di seluruh Indonesia seluas 1.279.570 hektare turun menjadi 1.265.930 atau tergerus 1,06 persen di tahun berikutnya. Parahnya, dari 1,265 juta hektare tersebut hanya 953.536 hektare atau 75,3 persen yang berstatus Tanaman Menghasilkan (TM). Sisanya, 15,1 persen Tanaman Belum Menghasilkan (TBM) dan 9,5 persen Tanaman Tidak Menghasilkan/Tua/Rusak (TTM).
Menurut Andri, salah satu permasalahan kopi di Indonesia terletak di sisi hulu, ”Karena satu, tidak ada kepercayaan [dari Pemerintah]. Dua, tidak ada usaha apapun yang mendukung untuk peremajaan. Rejuvenasi perkembangan kopi di Indonesia sangat lambat dengan tingkat laju pertumbuhan konsumsi yang makin tinggi.
“Hanya dua itu persoalannya dan bagaimana cara menyelesaikannya? Ya gampang, tanam ulang. Tapi kan gak dilakukan. Bahkan solusinya sudah ada, tetapi tidak dilakukan,” kata dia.
Produktivitas perkebunan kopi Indonesia memang tergolong rendah, yakni 813 kg per hektare, jika dibanding negara produsen kopi lain seperti Vietnam (2.615 kg per ha) dan Brasil (1.702 kg per ha).
Lesunya produksi di sektor hulu ini dikhawatirkan tidak bisa mengimbangi pesatnya laju konsumsi kopi di sisi hilir. Berdasarkan data International Coffee Organization (ICO), konsumsi kopi di Indonesia mengalami pertumbuhan stabil dari tahun ke tahun. Dalam periode 2011-2021 saja, pertumbuhan rata-rata tahunan konsumsi kopi mencapai 4,19 persen. Sementara, di periode yang sama, laju pertumbuhan produksi kopi Indonesia hanya 1,85 persen.
Data terbaru 2022/2023, ICO melaporkan pertumbuhan produksi kopi Indonesia sebesar 2,4 persen dari tahun sebelumnya. Pertumbuhan konsumsinya? 18,2 persen!
Jika data historis ini belum cukup bikin deg-degan, simak estimasi Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Sekretariat Jenderal - Kementerian Pertanian. Kementan memperkirakan pertumbuhan produksi kopi dari tahun 2022 hingga 2026 akan merosot, dengan penurunan rata-rata sekitar 0,12 persen per tahun.