Ilustrasi porang (Kemenperin.go.id/Arief Aditriandi M)
Salah satu petani milenial yang sudah sukses yakni Firdausi asal Jember. Kini Firdausi telah menjadi pengusaha muda di bidang pertanian.
Usaha taninya ia mulai saat duduk di bangku kuliah S1. Waktu itu, Firda mendapat pendanaan wirausaha dari kampus. Teori cara bertani yang baik ia praktikkan betul. “Dari fakultas dapat (pendanaan), dari universitas dapat, dari Dikti juga dapat, akhirnya uang itu saya kumpulkan dibuat bisnis, semua untuk membeli lahan (pertanian),” ujarnya kepada IDN Times, Selasa (18/2/2025).
Puncaknya, pada 2019 silam ia pernah merajai pasar porang nasional. Bahkan, Firda pernah dipercaya oleh perusahaan pertanian menjadi penyuplai bibit porang untuk 500 hektare lahan. “Dari situ aku bisa beli lahan pertanian semakin banyak. Awalnya aku beli satu petak, akhirnya beli lagi, beli lagi, mulai intensif di dunia pertanian ya saat itu,” kata perempuan yang pernah menjadi Mahasiswa Berprestasi (Mawapres) Fakultas Pertanian UB 2019 ini.
Ia kemudian merambah ke tanaman lain, mulai dari padi, jagung, cabai, bawang merah hingga jeruk. Berbagai hasil taninya ini ia jual di sekitar Jember. Omzetnya tembus puluhan juta rupiah dalam sekali panen. Penghasilan ini tentu jauh dari gaji bulanannya sebagai peneliti di salah satu perusahaan pertanian.
Tak mau sukses sendiri, Firda pun mengajak petani di sekitar tempat tinggalnya untuk mengikuti jejaknya. Berbekal ilmu dari kuliah S1 di Universitas Brawijaya (UB) dan S2 di Institut Pertanian Bogor (IPB), ia mengajarkan orang-orang sekitarnya cara bertani yang benar. “Ada sekitar 40 orang yang kerja sama aku, aku juga minta tetanggaku untuk menanam porang aku yang beli,” terang Firda.
Ia bahkan belakangan didapuk menjadi pembina banyak petani porang pemula di Indonesia. “Jadi aku punya binaan petani porang hampir di seluruh Indonesia, di Kupang ada, Riau ada,” kata dia.
Usaha Firda makin meluas setelah mencoba peruntungan budi daya telang. memanfaatkan pematang sawah sebagai lahan tanam. Hasilnya mampu menembus pabrik-pabrik yang membutuhkan bunga telang sebagai pewarna alami. Lumayan, setiap harinya tetangga-tetangga Firda mampu menghasilkan omset Rp50 ribu. Ini cukup untuk membantu tambahan penghasilan mereka. “Jadi bukan cuma tetangga (yang ikut menanam telang) ada dari Batu, Malang, hingga Probolinggo yang join, ada sekitar 40 orang,” katanya.
Bahkan, pada tahun 2018 ia menjadi pemain utama pasar bunga telang nasional. “Kita tanam satu petak bisa dapat setengah kilogram, waktu itu harga satu kilogram Rp1,4 juta, jadi walau lahanku satu petak aku dapat Rp700 ribu, bunga telang aku jual ke perusahaan permen dan mi,” tutur Firda.