ilustrasi KTP (IDN Times/Umi Kalsum)
Di rumahnya juga, kata Mugari, pada tahun 1980 an sempat digunakan untuk taman kanak-kanak atau TK dan muridnya dari masyarakat sekitar. Pendirian TK di tempat itu dilakukan karena pada tahun itu susah mencari TK.
"Tapi saya sendiri tidak ikut TK yang didirikan bapak saya. Dulu namanya TK Grinda," katanya.
Dalam mengurus administrasi kependudukan atau KTP juga tidak dipersulit oleh pemerintah. Padahal waktu itu pemerintah belum mengakui penganut kepercayaan seperti lima agama yang diakui oleh pemerintah.
"Bapak saya dan saya sudah memiliki KTP dan dalam kolom agama sudah tertulis penganut kepercayaan. Namun KTP-nya memang bukan E-KTP seperti saat ini," ucapnya.
Mugari mengaku dirinya bersama dengan tiga kakaknya yang lain tetap menganut agama islam dan tidak mengikuti aliran penganut kepercayaan seperti yang diikuti oleh kedua orang tuanya.
"Saya dulu saat SD mau dicarikan guru sebagai pengganti guru agama, namun saya bilang tidak mau soalnya gurunya tidak negeri (PNS)," terangnya.
Meski kedua orang tuanya menganut kepercayaan namun dalam kehidupan sehari-hari juga layaknya warga bisa. Seperti ikut gotong royong, ikut kenduri dan lain-lain.
"Tapi memang tidak ke masjid atau ke gereja. Bapak dan ibu saya berdoa dengan cara mereka sendiri," ujarnya.
Saat ini penganut kepercayaan Palang Putih Nusantara di Bantul semakin banyak pengikutnya bahkan sudah memiliki tempat untuk beribadah sendiri yang berlokasi di Padukuhan Baros, Kalurahan Tirtohargo, Kapanewon Kretek.
"Dulu ada tanah hibah kemudian dibangun sebagai tempat untuk berdoa bagi anggota Palang Putih Nusantara," katanya.