Ini Jumlah Kerugian Negara Jika Tambang Nikel di Raja Ampat Tak Disetop

Intinya sih...
Kerusakan ekosistem pertambangan nikel di Raja Ampat tak sebanding dengan keuntungan ekonomi pemerintah.
Kerugian negara akibat kerusakan lingkungan bisa melebihi Rp271 triliun, lampaui dampak kasus PT Timah.
Debu tambang nikel dapat terbang hingga ratusan kilometer, langgar UU dan rugikan negara ratusan triliun.
Yogyakarta, IDN Times - Pemerintah resmi mencabut empat Izin Usaha Pertambangan (IUP) nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya. Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi memperkirakan nilai kerugian ekonomi negara akibat kerusakan lingkungan dampak pertambangan nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya bisa melampaui Rp271 triliun.
Fahmy menilai nilai kerugian yang ditimbulkan melebihi dampak izin usaha pertambangan PT Timah Tbk tahun 2015-2022.
1. Flora-fauna langka tak mungkin pulih lewat reklamasi
Fahmy menerangkan kerusakan ekosistem imbas aktivitas pertambangan sejumlah perusahaan di Raja Ampat tak sebanding dengan keuntungan ekonomi yang diperoleh pemerintah.
Terlebih, spesies flora dan fauna di Raja Ampat tergolong langka dan sulit bahkan tak memungkinkan pulih sekalipun lewat upaya reklamasi. "Kalau itu kemudian punah, itu kan enggak bisa direklamasi. Nggak bisa didatangkan lagi ikan yang mati tadi. Nah, maka itu kerugiannya sangat besar," kata Fahmy saat dihubungi, Rabu (11/6/2025).
2. Nilai kerugian negara lampaui dampak kasus PT Timah
Fahmy mengkalkulasi nilai kerugian negara dari aktivitas pertambangan di Raja Ampat bisa melebihi dampak dari kasus korupsi tata niaga timah di wilayah izin usaha pertambangan PT Timah Tbk tahun 2015-2022 yang disebut total merugikan negara senilai Rp300 triliun.
Hasil hitungan ahli lingkungan hidup dalam kasus itu negara mengalami kerugian senilai Rp 271 triliun akibat kerusakan lingkungan dari penambangan ilegal dalam kasus PT Timah. "Kita bisa bercermin dari kerugian korupsi di PT Timah ya kan ada setara Rp300 triliun," kata Fahmy.
"Nah, itu dihitung Rp271 triliun itu yang merupakan biaya untuk mengembalikan kerusakan lingkungan. Nah, maka berdasarkan hitungan itu ya sebesar itu kerugian kerusakan alam, tapi mestinya kalau di Raja Ampat itu jauh lebih besar," lanjut dia.
3. Debu tambang nikel 'terbang' hingga ratusan Km
Fahmy turut meminta Presiden Prabowo Subianto atau pemerintah mencabut izin tambang PT GAG Nikel (GN) di Raja Ampat. Ia menilai langkah pemerintah mencabut izin usaha tambang milik empat perusahaan sebelumnya belum cukup menghentikan kerusakan ekosistem di Raja Ampat. Dia berpendapat, alasan bahwa perusahaan tersebut sudah melaksamakan reklamasi secara baik tidak cukup mencegah kerusakan lingkungan di sekitaran Raja Ampat.
Demikian pula soal dalih jarak 40 kilometer antara lokasi tambang di Pulau Gag dengan pusat konservasi utama Raja Ampat. Alasannya, limbah tambang nikel berupa debu yang bisa memicu kontaminasi dan membahayakan kesehatan manusia karena kandungan arsenik di dalamnya ini masih rentan terbawa angin. "Nah, debu tambang itu bisa dibawa angin sampai ratusan kilometer," kata Fahmy.
4. Jelas langgar UU dan rugikan negara ratusan triliun
Fahmy menambahkan aktivitas pertambangan oleh PT GAG Nikel ini jelas-jelas menyalahi UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
UU itu turut melarang segala aktivitas tambang di pesisir maupun pulau yang luasnya kurang dari 2.000 kilometer persegi. "Itu berdasarkan undang-undang yang sudah didukung oleh Mahkamah Agung maupun Mahkamah Konstitusi. Itu dilarang untuk melanggar penambangan di pulau kecil tadi tanpa syarat apapun gitu ya. Nah, itu melanggar," tegas Fahmy.
Belum lagi nilai keuntungan negara yang diperoleh tak sebanding dengan angka kerugian karena kerusakan ekosistem imbas aktivitas pertambangan. Menurut Fahmy, banyak spesies flora-fauna yang jika punah maka tak mungkin pulih lewat upaya reklamasi.