Ilustrasi siswa mengikuti pembelajaran tatap muka. (ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan)
Memasukkan pendidikan seksual dan reproduksi sebagai sistem pendidikan di sekolah, semisal dalam kurikulum pendidikan. Mengingat tidak semua taman kanak-kanak mengajarkan bagaimana mencegah perilaku kekerasan seksual pada anak serta mencegah anak menjadi korban dan pelaku. Begitu pun sekolah dasar hingga SMA.
Meskipun sudah ada yang masuk kurikulum sekolah, acap kali timbul salah paham antara pihak sekolah dan orang tua. Semisal, ketika anak mendapat pendidikan seksual dan reproduksi di sekolah, ketika pulang dan sampai di rumah malah membuat orang tuanya marah. Gara-garanya si anak menyebut istilah-istilah alat kelamin secara gamblang di hadapan orang tuanya, seperti penis, vagina.
“Orang tua marah karena menganggap anak ngomong kotor,” kata Amalia.
Sebaliknya, ketika orang tua telah membekali pendidikan seksual dan reproduksi terhadap anak-anaknya di rumah, pihak sekolah yang marah. Lantaran si anak dinilai memberikan pengaruh buruk kepada teman-temannya karena berbagi pengetahuan tentang seks dan reproduksi tersebut.
“Jadi perlu ada koordinasi antara orang tua dan sekolah. Karena pendidikan seksual dan reproduksi selama ini hanya dilakukan dari satu pihak saja. Orang tua saja atau sekolah saja,” kata Amalia.