Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi kekerasan seksual pada anak (Pixabay.com/Pexels)

Yogyakarta, IDN Times - Pada 2020, berdasarkan data Women Crisis Center Rifka Annisa, terhitung ada sekitar 50-an kasus kekerasan terhadap anak usia 0-18 tahun yang terjadi di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Sejak pandemik COVID-19, pelaku tren kasus tersebut lebih banyak dilakukan oleh keluarga dekat korban ketimbang orang lain di keluarganya. Seperti ayah, paman, atau kakeknya.

Namun pelaporan yang dilakukan korban atau walinya cenderung tak sebanyak ketika sebelum pandemik. Pertama, karena keterbatasan kemampuan anak untuk melapor. Kedua, tak banyak anak atau wali yang tahu, bahwa pelaporan bisa dilakukan secara online. Ketiga, anak tidak bisa leluasa bercerita ketika melapor melalui telepon, misalnya.

“Takut kedengaran pelaku yang ternyata satu rumah dengan korban,” kata Konselor Psikologi Rifka Annisa, Amalia Rizkyarini, saat dihubungi IDN Times, Jumat (29/10/2021).

1. Anak-anak sering diberi iming-iming, sekaligus diancam

Ilustrasi kekerasan terhadap anak (IDN Times/Sukma Shakti)

Mengapa anak-anak yang menjadi korban tidak mempunyai keberanian untuk melapor?

Modus-modus yang biasa dilakukan pelaku terhadap korban adalah dengan iming-iming imbalan berupa uang jajan atau mainan. Namun usai pelaku melakukan perbuatan bejat mencabuli korban, kemudian korban diancam apabila melapor kepada ibu, nenek, atau pun orang yang bisa memberikan perlindungan kepadanya.

Semisal, anak yang diperkosa ayahnya diancam akan dimasukkan ke dalam sumur apabila melapor kepada ibunya. Atau pelaku mengancam akan membunuhnya.

“Anak merasa takut dan memilih tidak bercerita atau melapor. Kasus pun baru terungkap beberapa bulan kemudian,” kata Amalia.

2. Dalam relasi kuasa, posisi anak lemah

Editorial Team

Tonton lebih seru di