Kebijakan Pendidikan Kerap Berubah, Buat Siswa Bingung

- Perubahan kebijakan hendaknya bersifat inkremental untuk menjaga stabilitas ekonomi, politik, dan sosial
- Menteri pendidikan baru sebaiknya pada tahun pertama tidak melakukan perubahan kebijakan tetapi belajar dulu dari kebijakan sebelumnya
Yogyakarta, IDN Times – Pengamat Kebijakan Pendidikan Universitas Gadjah Mada (UGM), Subarsono menyebut perubahan kebijakan pendidikan setiap pergantian pemerintah dipastikan terjadi, karena merupakan keputusan politik. Ia menyebut perubahan kebijakan ini berdampak buruk pada siswa.
“Perubahan kebijakan pendidikan tiap pergantian pemerintahan pasti akan terjadi dan tidak bisa dihindari, karena itu adalah keputusan politik untuk merealisir janji politk Presiden waktu kampanye. Misalnya makan siang bergizi (MBG) bagi siswa,” ujar Subarsono, Sabtu (19/7/2025).
1. Perubahan kebijakan hendaknya bersifat inkremental

Subarsono mengungkap perubahan kebijakan hendaknya bersifat inkremental untuk menjaga stabilitas ekonomi, politik, dan sosial. Kebijakan pendidikan yang berubah-ubah setiap pergantian pemeritahan memiliki implikasi pada struktur organisasi di bawahnya yang dipastikan juga berubah.
Di tingkat pusat terjadi restrukturisasi di sektor pendidikan dengan dipecahnya menjadi tiga kementerian, maka bisa jadi distribusi kualitas ASN antar kementerian tidak sama atau timpang, sehingga kecepatan perjalanan ketiga kementerian tersebut tidak akan sama. Implikasi ekonominya, menambah Anggaran negara karena ada tambahan menteri, tambahan dijen dan tambahan direktur dan lain-lain.
Pada Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah terjadi perubahan Ujian Nasional (UN) diganti dengan Tes kompetensi Akademik, juga memiliki implikasi pada guru, karena para guru perlu mengenalkan kepada para siswanya jenis TPA dan melatih siswa untuk mengadapi tes tersebut.
2. Ini dampak yang dirasakan masyarakat

Pada tingkat masyarakat sebagai pengguna pendidikan juga mengalami perubahan dalam kaitannya dengan penerimaan siswa baru, karena terjadi perubahan sistem penerimaan. Dari orangtua calon siswa perlu mempelajari sistem penerimaan siswa baru secara teliti agar anaknya bisa diterima di sekolah favorit.
”Bahkan pemerintah mengenalkan Sekolah Rakyat, boarding school di bawah Kementerian Sosial. Ini membingungkan karena tupoksi kementerian sosial bukan di bidang pendidikan,” ungkap Dosen Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik (MKP) UGM itu.
Subarsono mengungkapkan dampak kebijakan yang berubah-ubah juga dirasakan siswa, mereka yang masih dalam usia pertumbuhan dan belum dewasa akan mengalami kebingungan. ”Ini perlu pencerahan dari pihak sekolah dan pemangku kepentinagn di dunia pendidikan,” kata Subarsono.
3. Belajar dari kebijakan sebelumnya

Dalam pengambilan kebijakan pendidikan, Subarsono berpenapat bahwa para menteri pendidikan baru sebaiknya pada tahun petama tidak melakukan perubahan kebijakan tetapi belajar dulu dari kebijakan sebelumnya. Selain itu membentuk tim kajian kebijakan untuk mengevaluasi jenis kebijakan apa sebelumnya yang kurang berhasil dan yang sukses. Kebijakan mana yang perlu dirubah, dimodifikasi dan disempurnakan. Apakah pada kebijakan Kurikulum, apakah kebijakan SDM, atau kebijakan sarpras yang mencakup antara lain ruang kelas, kepustakaan, laboraturium, internet, multi media.
”Pada level pendidikan dasar dan menengah nampaknya perlu roadmap tujuan pendidikan selama 20 tahun (jangka panjang) sehingga perubahan kebijakan setiap lima tahun perlu berpijak pada roadmap yg sudah ada. Apakah tujuan pendidikan memberikan knowledge, memberikan skill dan dan membetuk attitude yang baik atau yang lain,” kata Subarsono.
Subarsono berpandangan program pendidikan saat ini dari aspek pengetahuan siswa dinilai sudah baik, tetapi dari aspek resilience (ketangguhan) kurang baik. ”Kita sering mendengar anak-anak muda sekarang termasuk straberry generation, generasi lembek, tidak tahan banting, mudah patah semangat dan beberapa diantara mereka mengalami masalah mental health,” ujarnya.