Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Guru Besar Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII), Prof. Masduki. (IDN Times/Herlambang Jati Kusumo)

Intinya sih...

  • Akademisi menyatakan keprihatinan atas ancaman kebebasan pers dan berekspresi dalam beberapa kasus terbaru.
  • Menyoroti teror kepala babi dan bangkai tikus ke kantor redaksi Tempo serta tindakan represif polisi terhadap jurnalis IDN Times.
  • Ratusan akademisi menandatangani petisi publik dengan empat poin utama untuk menuntut penanganan hukum yang tuntas, pelaku intimidasi dijerat dengan delik pidana, dan permohonan maaf Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan.

Yogyakarta, IDN Times – Akademisi Komunikasi untuk Kebebasan Berekspresi dan Kebebasan Pers (AKBP) menyatakan keprihatinan atas ancaman kebebasan pers yang terjadi beberapa waktu terakhir. Kebebasan pers dan kebebasan berekspresi dinilai sedang tidak baik-baik saja.

“Kebebasan pers dan kebebasan berekspresi sedang tidak baik-baik saja,” ungkap Guru Besar Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII), Prof. Masduki, saat penyampaian petisi publik, secara daring, Rabu (26/3/2025).

1.Pers sebagai aktor demokrasi

Ilustrasi pers (IDN TImes/Arief Rahmat)

AKBP menyoroti persoalan kebebasan pers, mulai dari teror kepala babi dan bangkai tikus ke kantor redaksi Tempo, pada 19 Maret 2025 dan 22 Maret 2025. Kemudian tindakan represif polisi terhadap jurnalis IDN Times dan dua anggota Pers Mahasiswa (Persma) saat unjuk rasa menolak revisi Undang-Undang TNI, pada 20 Maret 2025.

Prof. Masduki menyebut apa yang dialami jurnalis tersebut menjadi upaya pelemahan fungsi watchdog, yang menjadi pilar dari pers sebagai aktor demokrasi. “Itu (pers) seharusnya menjadi vitamin bagi pemerintah, bagi otoritas. Kalau pemerintahnya seperti ini, ini situasi sempurna dari proses otoritarian,” ungkap Prof. Masduki.

Menyikapi kondisi yang ada, ratusan akademisi Komunikasi menandatangani dan menyampaikan petisi publik, dengan empat poin utama. “Apa yang kita lakukan hari ini merupakan moral response,” ungkap Prof. Masduki.

2. Tuntut penanganan hukum menyeluruh dan tuntas pada kasus teror jurnalis

Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Senja Yustitia. (IDN Times/Herlambang Jati Kusumo)

Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Senja Yustitia yang membacakan petisi publik tersebut, mengatakan bahwa pertama AKBP menuntut penanganan hukum yang menyeluruh dan tuntas pada kasus teror dan intimidasi kepada majalah Tempo dan jurnalisnya serta memprioritaskan penegakan keadilan dan pemulihan bagi korban. Puluhan kasus yang melibatkan kerja-kerja jurnalistik –seperti kekerasan fisik hingga teror ke majalah Tempo telah mengancam keberlangsungan kemerdekaan pers.

“Polisi harus menghentikan praktik impunitas dengan tidak melakukan undue delay. Sebaliknya, polisi harus menjunjung supremasi hukum dengan menegakkan undang-undang pers yang menjamin kebebasan jurnalis untuk mengumpulkan, mengolah, dan menyebarluaskan berita,” ujar Senja.

Poin kedua, menuntut pelaku intimidasi dijerat dengan delik pidana, pasal 18 ayat (1) Undang-undang Pers No 40 Tahun 1999 karena telah melakukan penghalang-halangan terhadap proses kerja jurnalistik. Dewan Pers perlu menerjunkan Satgas Anti-Kekerasan guna memastikan kepolisian mengusut kasus ini dengan tuntas. Jurnalis melakukan kerja pers sebagai bentuk check and balances serta pengimplementasian tugasnya sebagai pilar keempat demokrasi.

“Segala bentuk intimidasi dan ancaman yang dilakukan merupakan bentuk penghalang-halangan kerja pers yang dapat berakibat pada terlanggarnya hak atas jaminan rasa aman bagi jurnalis serta terlanggarnya hak publik atas informasi,” ungkapnya.

3.Tuntut permohonan maaf Hasan Nasbi dan lawan represi politik otoritarian

Ilustrasi pers (IDN Times/Arief Rahmat)

Poin ketiga, menuntut permohonan maaf Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi secara terbuka kepada publik. Pernyataan kontroversial Hasan Nasbi mempertegas asumsi publik bahwa pemerintah saat ini kurang apresiatif terhadap kebebasan pers di satu sisi dan cenderung ignorant terhadap segala ancaman yang datang kepada media yang selama ini berusaha merealisasikan prinsip kebebasan pers secara berani.

Meminta media yang diintimidasi dengan paket kepala babi dan bangkai tikus untuk “memasak kepala babi tersebut,” mengandung makna bahwa Istana menginginkan media mengikuti keinginan pengirim. Ada tendensi sikap yang meminta media menghadapi intimidasi tanpa perlu pembelaan. Tidak hanya itu, pernyataan tersebut dan juga ralat yang dilakukan telah mencederai nurani serta akal sehat publik. Pada masa mendatang, selaku jubir presiden seharusnya memiliki perspektif yang empatik dan menjamin hak masyarakat yang sama di mata hukum.

“Keempat, kami menyatakan bersama-sama dengan Tempo dan jurnalis serta aktivis kebebasan berekspresi dalam melawan represi politik otoritarian era Joko Widodo dan Presiden Prabowo. Produk jurnalisme berkualitas seperti investigasi Tempo adalah pasokan informasi bagi warga negara agar tetap kritis. Ancaman terhadap Tempo (yang kesekian kali) dan terhadap jurnalis, aktivis sosial dan aktivis mahasiswa di seluruh Indonesia sama halnya dengan ancaman terhadap kebebasan akademik sejak akhir periode Joko Widodo pada 2024 yang selama ini menjadi sumber berita,” sambung Dosen Ilmu Komunikasi UII, Dian Dwi Anisa.

Pada awal 2024 hingga pelaksanaan Pilpres, puluhan akademisi terutama Guru Besar mendapat ancaman dan dibungkam.  Berlanjutnya ancaman terhadap media, jurnalis dan akademisi ini menunjukkan Indonesia yang semakin gelap gulita dari sisi nilai-nilai dan praktik demokrasi. Bukan hanya itu, pembungkaman atas kebebasan pers, kebebasan berekspresi, dan juga kebebasan akademik adalah inkonstitusional karena melanggar Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, terutama pasal 28F.

Editorial Team