Ilustrasi sertifikat tanah. (Dokumentasi Istimewa)
Menurut Heri Setiawan (31), putra sulung Mbah Tupon, semula sang ayah punya tanah dengan luas total 2.100 meter persegi. Pada 2020, menghibahkan sebagian warisannya itu sekitar 90 meter untuk akses jalan kampung serta mewakafkan 53 meter persegi buat gudang RT.
Total tanah tersisa tinggal 1.655 meter persegi. Kemudian sekitar 298 meter persegi dijual ke mantan anggota dewan di Bantul berinisial BR, lantaran Mbah Tupon butuh duit untuk membangun rumah anaknya.
Pembayaran saat itu dilakukan lewat skema angsuran sampai kekurangan tinggal Rp35 juta. Kata Heri, BR beberapa bulan berselang menawarkan pelunasan dengan bantuan memecah tanah sisa milik Mbah Tupon menjadi empat sertifikat. "Si pembeli yang inisiatif nawarin pecah sertifikat, jadi empat. Buat bapak dan tiga anaknya," ujar Heri.
Tanpa rasa curiga, Mbah Tupon mengiyakan tawaran tersebut. Dia lantas diajak oleh T, seorang perantara BR, untuk menandatangani sejumlah dokumen yang dia tidak tahu apa isinya. Mbah Tupon dibawa ke dua lokasi, yakni ke Jalan Janti, Depok, Sleman dan Krapyak, Sewon, Bantul, tapi tak satu pun dia ingat tempat apa itu. "Waktu tanda tangan berkas juga enggak dibacain apa isinya, sementara bapak kan nggak bisa baca tulis," kata Heri.
T masih satu kali lagi meminta Mbah Tupon menandatangani berkas. Lokasinya saat itu di rumah. Beberapa hari berselang, perantara BR itu juga meminta uang Rp5 juta untuk proses pecah sertifikat.
Minggu berganti bulan dan bulan berganti tahun. Tapi, sertifikat pecah yang dijanjikan BR tak kunjung berwujud. Mbah Tupon cuma diminta bersabar setiap kali menanyakan progresnya.