Anggota Komisi XII DPR RI, dari Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Totok Daryanto (tengah) saat konferensi pers. (IDN Times/Herlambang Jati Kusumo)
Warga menghadapi konflik tumpang tindih lahan dengan perusahaan sawit PT. Merbau Jaya Indah, yang diketahui memiliki izin lokasi di atas sebagian lahan garapan warga. Warga melaporkan bahwa sekitar 40 hektare dari lahan mereka telah digusur tanpa proses musyawarah, dan hal ini disaksikan langsung oleh kepala desa setempat. Akibatnya,luas garapan warga menyusut menjadi sekitar 272 hektare.
Totok menyebut kondisi semakin memanas ketika penggusuran kembali terjadi pada periode Agustus hingga Desember 2023. “Warga menyebutkan bahwa tindakan perusahaan dilakukan secara terang-terangan, dengan kehadiran aparat desa dan perusahaan, tanpa mediasi atau perundingan terlebih dahulu. Konflik ini telah menyebabkan keresahan kolektif, apalagi belum ada penyelesaian hukum maupun administratif dari instansi yang berwenang,” kata Totok.
Sejak 2013, warga telah membentuk Himpunan Petani Arongo (HPA), yang kemudian dilanjutkan pada 2017 dengan pendirian Serikat Tani Konawe Selatan (STKS), yang diresmikan oleh Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) bersama perwakilan Kantor Staf Presiden. “Namun, seluruh upaya advokasi hingga kini belum membuahkan penyelesaian yang berpihak kepada warga,” ucap Totok.
Pada 19 Mei 2025, telah dilaksanakan pertemuan lintas pihak di Kantor Gubernur Sulawesi Tenggara atas prakarsa DPD RI Komite II, dipimpin oleh Umar Bonte. Pertemuan tersebut dihadiri oleh perwakilan PT. Merbau Jaya Indah, PT. Tiran, PT. CAM, serta sejumlah pejabat dari Kementerian Investasi, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Pertanian, Bupati Konawe Selatan, Bupati Konawe, dan Sekda Provinsi Sulawesi Tenggara. Warga juga hadir sebagai pihak terdampak. Namun, pertemuan ini hanya bersifat penjaringan aspirasi dan belum menghasilkan keputusan konkret terkait penyelesaian konflik lahan.