ilustrasi tidak memakai masker di ruang terbuka. (ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso)
Sebelumnya, Pakar Epidemiologi Universitas Gadjah Mada (UGM), Riris Andono Ahmad, berpendapat arahan Presiden Joko Widodo melonggarkan pemakaian masker di tengah situasi COVID-19 sudah tepat berdasarkan keilmuannya.
"(Secara epidemiologi) memang ini saatnya orang ada periode di mana orang bisa merasa normal kembali," kata Riris saat dihubungi, Rabu (18/5/2022) lalu.
Pada prinsipnya, kata Riris, masker memang tak harus dikenakan ketika berada di dalam ruangan terbuka yang tak padat manusia.
Selain perlu membuat aturan agar tak multiiinterpretasi, pemerintah, menurut Riris, juga harus mengelola risiko atau konsekuensi berupa euforia masyarakat dari pelonggaran aturan masker ini.
Pasalnya, potensi penularan COVID-19 itu masih ada. Hanya saja untuk tinggi rendahnya dipengaruhi dua faktor utama. Pertama, yakni tingkat kekebalan di level komunitas efek penularan virus. Indonesia sendiri, menurut Riris, telah melalui gelombang penyebaran varian delta dan omicron yang lebih besar skalanya.
"Meskipun sekarang kita tahu bahwa herd immunity itu tidak akan terjadi tetapi semakin banyak orang di populasi yang mempunyai kekebalan akan menyebabkan risiko penularannya menjadi rendah," papar Riris.
Faktor kedua adalah cakupan vaksinasi Covid-19 di Indonesia yang cukup tinggi. Kombinasi dua faktor inilah yang meningkatkan level kekebalan di populasi sehingga mampu menekan risiko penularan dan menjadi dasar pelonggaran aturan memakai masker.
Kendati, dia mengingatkan jika muncul varian baru COVID-19 yang mampu menembus kekebalan tubuh dan memicu gelombang penularan berikutnya, maka aturan pelonggaran masker perlu ditinjau ulang.
Hal lain yang menurutnya mewajibkan pemerintah untuk meninjau ulang aturan pelonggaran masker ini adalah ketika level imunitas di populasi sudah menurun drastis.
"Karena kita tahu kan kekebalan untuk COVID tidak berlangsung cukup lama, mungkin sekitar 4-6 bulan," tutupnya.