Warga yang tergabung dalam Gerakan Masyarakat Peduli Alam Desa Wadas (GEMPADEWA) melakukan aksi damai di depan kantor Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Serayu Opak, Sleman, D.I Yogyakarta, Kamis (6/1/2022) (ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko)
Sana merupakan salah seorang pendamping masyarakat, khususnya perempuan Wadas yang tergabung Solidaritas Perempuan (SP) Kinasih. Lembaga yang diketuainya itu mengawal perjuangan menjaga bumi Wadas tetap utuh.
Sana berujar, dampak pertambangan dirasakan oleh ratusan warga penerima uang ganti rugi (UGR) lahan terdampak. Pelepasan hak atas tanah kepada negara berimplikasi pada hilangnya akses ke sumber penghidupan, khususnya mereka yang profesinya petani, pengolah pangan, atau hasil pertanian.
Warga yang sudah 'dilemahkan' lewat skema UGR sehingga menjadi pro pada penyerahan hak atas kepemilikan tanah mayoritas berasal dari daerah Kaliancar II, Karang, dan Krajan. Kata Sana, mereka semestinya adalah penyadap karet, penganyam bambu, pengolah gula aren, kopi, madu, minyak kelapa murni, dan produsen tanaman empon-empon.
SP Kinasih mengklaim berkomunikasi dengan warga baik yang pro maupun kontra proyek pertambangan ini.
Mereka yang pro kini tak lagi beraktivitas seperti sedia kala dan hanyut dengan framing kesejahteraan berupa renovasi hunian, modernisasi perabot rumah tangga, belanja otomotif, dan lain sebagainya.
Padahal pencairan UGR tahap I, lanjut Sana, juga belum tuntas seluruhnya. Lebih-lebih tahap II yang masih sulit diterawang. Dengan kata lain, warga belum mengantongi uang ganti rugi namun tak lagi bisa mengakses sumber penghidupannya. Alih profesi sesuai profesi sebelumnya butuh modal lahan produksi, sementara proses pembayaran yang belum selesai hanya membuat mereka menjadi pengangguran.
"Kecuali warga yang masih mempertahankan tanahnya. Aktivitas itu masih bisa dilakukan sama yang kontra karena masih punya akses ke lahan mereka," ucap Sana.
Apalagi para warga perempuan, klaim Sana, mereka kerap diperdengarkan narasi berbau misoginis. Harus patuh keputusan suami selaku pemilik lahan. Serangan psikis lain adalah dengan tarik ulur memainkan ketidakpastian tenggat waktu penyerahan tanah dan ancaman tak kebagian UGR.
"Perempuan pedesaan itu kan ruang politik, ekonominya itu bagaimana dia punya keleluasaan mengelola hasil bumi. Kuasa politiknya itu menentukan tanahnya mau ditanam apa. Secara otomatis bahkan ketika pertambangan ini belum dilakukan saja, ketika tanah sudah diserahkan, politik, sosial, budaya itu hilang," paparnya.
Kala tambang baru sebatas rencana, perempuan Wadas telah kehilangan ruang untuk mengambil keputusan terkait dirinya, ekonomi keluarganya, dan menyangkut pengelolaan sumber daya alam secara sewajarnya, bukan eksploitatif layaknya cara-cara tambang kelak.
"Kalau kita bicara dampak pertambangan, dampak ini sebenarnya gak cuma dampak ekonomi, tapi dampak yang paling signifikan adalah hilangnya ruang kehidupan, terutama ruang kehidupan perempuan pada aspek politik.