Pakar UGM: Dinasti Politik Menjadi Penyakit Demokrasi

Masyarakat juga harus disadarkan

Intinya Sih...

  • Dinasti politik dan klientelisme merugikan masyarakat umum, hanya menguntungkan keluarga dan kroni
  • Saat ini masih dalam proses pencalonan, namun tren pencalonan kepala daerah menunjukkan peningkatan terkait incumbent
  • Dinasti politik membangun eksploitasi sumberdaya negara dan menyebabkan ketidakperbaikan kondisi daerah

Yogyakarta, IDN Times - Pakar Politik Universitas Gadjah Mada (UGM), Arya Budi, menilai dinasti politik yang muncul sebagai patologi atau penyakit pada demokrasi. Struktur demokrasi di Indonesia juga cenderung subur terhadap praktik dinasti politik maupun klientelisme.

Arya menyebut dinasti politik hanya menguntungkan bagi keluarga maupun kroni, dan jaringan bisnis mereka yang memegang kekuasaan. Untuk masyarakat secara umum hanya mendapat kerugian. "Struktur demokrasi kita cenderung subur terhadap praktik dinasti maupun klientelisme," ujar Arya, Jumat (5/7/2024).

1. Incumbent kerap membangun dinasti politik

Pakar UGM: Dinasti Politik Menjadi Penyakit DemokrasiIlustrasi Pemilu. (IDN Times/Mhd Saifullah)

Arya mengungkapkan saat ini secara statistik memang belum bisa terlihat berapa pasang atau orang yang akan maju atau termasuk dalam lingkaran dinasti politik maupun klientelisme, hingga nanti saat penutupan pendaftaran akhir Agustus 2024. "Nah sekarang kan semua orang masih dalam proses pencalonan. Jadi masih seleksi, masih menominasi siapa yang dicalonkan," ungkap Arya.

Arya menambahkan dari jumlah secara statistik belum tahu dari 500 lebih daerah, apa separuh atau seperti apa yang masuk dalam dinasti politik. Jika melihat tren pencalonan kepala daerah 10-20 tahun terakhir, trennya meningkat terkait pencalonan incumbent.

"Beberapa studi mengatakan, kepala daerah dengan popularitas kuat tinggi, atau kalau tidak populer, tapi dia incumbent habis masa jabatan 2 periode, kecenderungan sangat besar, dia akan mencalonkan keluarganya, entah anak istri atau kerabat," ujar Arya.

Dosen Departemen Politik dan Pemerintahan UGM itu menjelaskan bahwa keluarga merupakan institusi politik paling efektif, sejak era prasejarah, sejak institusi demokrasi dikenal. Keluarga menjadi institusi politik paling solid, keluarga sangat mudah dikonsolidasikan.

"Tidak ada kepentingan lain selain kepentingan sesama anggota keluarga," ujar Arya.

2. Dinasti politik maupun klientelisme sebagai penyakit

Pakar UGM: Dinasti Politik Menjadi Penyakit DemokrasiIlustrasi. Sejumlah Alat Peraga Kampaye (APK) milik dipaku di pohon. (ANTARA FOTO/Rahmad)

Arya menyebut bahwa dinasti politik maupun klientelisme tersebut patologi atau penyakit. Meski para calon dari lingkup keluarga dipilih dari jalur elektoral Pemilu, tapi keterpilihan sang calon karena pengaruh incumbent, entah ayah, ibu atau yang lainnya.

"Kenapa disebut patologi, karena dia menutup kran putra daerah yang potensial, secara meritokratik ya dia dicalonkan bukan karena mampu atau punya pengalaman, tapi anak atau anggota keluarga incumbent. Incumbent membangun dinasti dengan pencalonan anggota keluarga, akan mengekspolitasi sumberdaya negara, karena dia incumbent sehingga penggunaakan APBN, APBD, tender, kemudian akan terksploitasi dalam pencalonan itu," kata Arya.

Arya mengungkapkan fakta politik menunjukkan bahwa per hari ini banyak daerah di tangan pejabat sementara. Banyak yang sudah demisoner, meski incumbent tidak bisa menggunakan APBN mereka, tapi mereka sudah punya jejaring ekonomi poltik.

Baca Juga: Fatayat NU Dorong Tokoh Perempuan Kulon Progo Maju Pilkada 2024

3. Kesadaran publik juga harus dibangun

Pakar UGM: Dinasti Politik Menjadi Penyakit DemokrasiIlustrasi Politik Uang. (IDN Times/Dicky)

Persoalan ketiga, publik juga cenderung permisif, karena mereka tidak menangkap relasi secara langsung dari dinasti terhadap efek destrukti yang ditimbulkan. Meski beberapa daerah cenderung turun temurun, dan tidak ada perbaikan misal kondisi jalan, tapi masyarakat tetap memilih mereka.

"Karena itu tadi, eksploitasi jaringan bisnis. Misal vote buying, money politic, dan sebagainya. Meski jalan rusak bertahun-tahun, tapi ketika pemungutan suara, dapet cash, amplop, sembako, nah karena mayooritas publik kita menengah ke bawah itu sasaran praktik politik klientelisme, vote buying, dan sebagainya," ujar Arya.

Baca Juga: PKB Buka Peluang Usung Kustini di Pilkada Sleman 2024

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya