El Nino hingga Pembangunan Turunkan Angka Produksi Padi
Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News
Yogyakarta, IDN Times - Iklim dan luasan lahan dinilai memiliki pemgaruh yang besar terhadap produksi pertanian di Indonesia. Dosen Departemen Budidaya Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM), Taryono menilai di tahun 2023, El Nino menjadi salah satunya penyebabnya.
Berdasarkan data sementara Badan Pusat Statistik (BPS), luas panen padi pada 2023 diperkirakan sekitar 10,20 juta hektare, mengalami penurunan sebanyak 255,79 ribu hektare atau 2,45 persen dibandingkan luas panen padi di 2022 yang sebesar 10,45
juta hektare. Produksi padi pada 2023 diperkirakan sebesar 53,63 juta ton Gabah Kering Giling (GKG), mengalami penurunan sebanyak 1,12 juta ton GKG atau 2,05 persen dibandingkan produksi padi di 2022 yang sebesar 54,75 juta ton GKG.
Kemudian, produksi beras pada 2023 untuk konsumsi pangan penduduk diperkirakan sekitar 30,90 juta ton. Jumlah tersebut mengalami penurunan sebanyak 645,09 ribu ton atau 2,05 persen dibandingkan produksi beras di 2022 yang sebesar 31,54 juta ton.
1. Faktor cuaca pengaruhi produksi padi
Taryono menyebut pada tahun 2023, produksi padi yang menurun disebabkan perubahan iklim. Awal tahun yang seharusnya sudah masuk panen untuk padi Musim Tanam (MT) 1 namun terlambat. Menurutnya terlambatnya datangnya musim hujan membuat lahan sawah terganggu. "Produksi padi yang menurun itu disebabkan oleh perubahan iklim. Kalau irigasi mungkin masih bisa. Kalau yang tadah hujan praktis tidak bisa ditanam," ujar Pakar Pertanian itu.
Ia mencontohkan, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang kebanyakan lahan sawahnya tadah hujan, terganggu dengan curah hujan yang kurang. "Desember itu yang bisa tanam yang pokok irigasinya didukung dari waduk maupun sumur. Untuk Sragen (Jawa Tengah), ada waduk bisa mulai dulu, sekarang sudah mulai mau panen," ujar Taryono.
2. Terobosan yang dihadirkan PIAT UGM
Diketahui Pusat Inovasi Agro Teknologi Universitas Gadjah Mada (PIAT UGM) mengenalkan padi varietas Gamagora 7 atau Gadjah Mada Gogo Rancah 7, di Guyung, Gerih, Ngawi, Jawa Timur. Gamagora 7 diklaim bisa menjadi pilihan padi yang ditanam saat kemarau panjang. "Pengalaman juga kelebihan Gamagora 7 ini seandainya terjadi kekeringan dan segera dapat diairi, recovery cepat, tumbuh kembali cepat. Ada beberapa nomor, recovery lambat, agak kuntet kekuningan," ujar Plt Kepala PIAT UGM itu.
Keunggulan Gamagora 7 lainnya yaitu, panen bisa lebih cepat, yaitu maksimal 110 hari, di musim kemarau bisa dipanen kurang dari 100 hari. Selain itu, anakannya banyak dan serempak. "Kalau kita lihat pertumbuhannya serempak, artinya nanti pada saat mulainya semua keluar, ini berbunganya juga akan serempak, sehingga harapan kita mutu berasnya juga baik," ujar Taryono.
Produktivitas Gamagora sendiri, dalam luasan 1 hektare bisa menghasilkan 10 ton gabah kering. Jumlah tersebut lebih besar dibanding padi pada umumnya, pada kisaran 8 ton per hektare. Secara kualitas diklaim tidak jauh berbeda dengan beras Rojo Lele. "Maka saya mengatakan sekarang saya berani promosi, mimpi UGM untuk mendukung kedaulatan pangan melalui Gamagora 7 InsyaAllah. Ini harus kita dukung benar-benar," ujarnya.
Baca Juga: Pengamat UGM Ingatkan Pentingnya Memahami Cuaca dalam Pertanian
3. Pembangunan bisa mengurangi luasan lahan pertanian
Selain masalah faktor cuaca yang menyebabkan kurangnya pengairan di lahan pertanian, Taryono juga menyebut hasil panen dipengaruhi luasan lahan. Pembangunan infrastruktur yang massif bisa mengurangi luas tanam padi.
"Karena pembangunan infrastruktur itu kan korbannya mesti lahan pertanian. Jadi contoh misal pembangunan tol, Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Kalau gak hati-hati lahan pertanian korbannya," ujar Taryono.
Baca Juga: BMKG Ingatkan Puncak Musim Hujan di Jogja Terjadi Bulan Depan