Ilustrasi buaya muara (IDN Times/Andri NH)
Salah satu hak asasi satwa adalah mengekspresikan sifat alaminya. Untuk hewan liar, hal ini berlaku di habitatnya. Namun, habitat hewan liar kerap kali tergerus eksploitasi manusia. Mulai dari pembukaan hutan untuk pertanian dan perkebunan, hingga alih fungsi lahan untuk permukinan. Hal ini mengancam eksistensi satwa di habitatnya. Konflik pun tak terelakkan.
Di Sumatra Selatan, konflik yang paling sering terjadi adalah antara buaya dengan manusia.
"Ada dua jenis buaya di Sumsel, buaya muara dan buaya sinyulong. Konflik paling sering ya buaya muara, selain konflik gajah dengan manusia. Tapi yang viral waktu itu pernah soal harimau di Lahat sebelum saya di sini (menjabat Kepala BKSDA)," ujar Kepala BKSDA Sumsel, Ujang Wisnu Barata kepada IDN Times, Jumat (15/10/2021).
Lokasi konflik buaya di Sumsel sering terjadi di sembilan kabupaten dan kota. Yakni Kabupaten Musi Rawas, Empat Lawang, Ogan Ilir, Ogan Komering Ilir, Banyuasin, Muaraenim, Musi Banyuasin, termasuk Kota Palembang. Namun daerah paling sering terjadi di Kabupaten Banyuasin.
Data BKSDA Sumsel mencatat, konflik buaya sejak 2017 hingga 2021 terdapat 23 kasus dengan tujuh wilayah telah teridentifikasi.
"Untuk konflik memang banyak buaya muara yang memakan manusia, hal ini terjadi karena habitat mereka mengecil," jelasnya.
Tak jauh berbeda, warga Lampung juga sering kali berkonflik dengan buaya maupun gajah. Menurut Satgas Konflik BKSDA Bengkulu SKW III Lampung, pada 2021 ada lebih dari lima temuan kasus penerkaman buaya muara di sekitar Sungai Way Semaka, Tanggamus. Bahkan beberapa di antaranya ada merenggut korban jiwa.
"Kalau konflik buaya dengan manusia sekitar Sungai Semaka ini memang sudah terjadi sejak 2018 lalu. Di Tanggamus ini ada juga antaranya konflik dengan gajah," ucap Pengendali Ekosistem Hutan (PEH) BKSDA Bengkulu SKW III Lampung, Sujadi, 15 Oktober 2021.
Selain temuan konflik buaya di Tanggamus, Sujadi juga menyebut hal serupa juga terjadi pada jenis satwa liar lainnya di beberapa kawasan hutan Provinsi Lampung.
"Di Liwa Lampung Barat dan Kotabumi Lampung Utara ada beruang madu, kemudian gajah liar di Lampung Timur," terangnya.
Salah satu upaya agar tidak terjadi konflik ini, kata Ujang, adalah tetap mencukupi kebutuhan makan dan minum untuk hewan. Serta memberi hewan kesempatan untuk bergerak aman.
"Hewan juga ada area pergerakan. Konflik ini bisa dari pengaruh pembangunan, terbatasnya lahan, hingga akhirnya hewan liar muncul. Jadi soal ini gak bisa kita tangani sendiri," timpal dia.
Sementara, di kawasan padat penduduk di Tangerang, Banten, konflik antara satwa dan manusia juga terjadi. Dalam sebulan, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Tangerang mengaku mengamankan belasan ular di permukiman.
"Rata-rata bulanan pernah sampe 15 kali, kebanyakan ular ada juga tawon," kata Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik BPBD Kota Tangerang, Gufron Fallfelli, 13 Oktober 2021.
Ketua Yayasan Sioux Ular Indonesia, Aji Rachmat, mengatakan ular akan betah dan nyaman di lokasi yang menyediakan makanannya. Mangsa mereka adalah hama berupa hewan tikus salah satunya. Selain itu riwayat area tempat rumah itu pun jadi salah satu musabab.
"Banyak area yang jadi tempat hidup ular dijadikan rumah dan industri sehingga ular bergeser ke rumah warga yang ada tikusnya," katanya pada 15 Oktober 2021.
Saat hujan, lanjut Aji, lubang sembunyi ular tergenang air. Ular kedinginan lalu mencari tempat hangat di pemukiman warga.
"(Misal) BSD, Serpong, Tangsel lingkungannya banyak area kosong, taman dan dilintasi sungai jadi ular betah," ungkapnya.
Sejatinya, peran ular dalam rantai ekosistem alam adalah menjaga populasi hama. Oleh karena itu, ular harus ada. Jika ada ular di perumahan, itu adalah hal yang wajar.
"Ular tetangga kita," kata dia. Manusia hanya perlu rajin membersihkan area rumah agar ular tak masuk dan kita memutus rantai makanan ular itu sendiri.