Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Riyanto
Tumpukan menu MBG yang disajikan kepada para siswa. IDN Times/Riyanto.

Intinya sih...

  • UMKM sekitar sekolah bisa penuhi bahan baku

  • Hanya untungkan pengusaha besar

  • Berikan peran ke pemerintah daerah

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Sleman, IDN Times - Kasus keracunan dalam Program Makan Bergizi Gratis (MBG) terjadi di sejumlah wilayah di Indonesia. Guru Besar Departemen Manajemen FEB UGM, Prof. Agus Sartono berpendapat keracunan terjadi karena rantai distribusi MBG terlalu panjang.

Agus berpendapat belajar dari praktik di negara maju, program MBG bisa dilaksanakan melalui kantin sekolah. Metode ini, disebutnya, lebih baik dibanding cara atau sistem yang diterapkan di Indonesia saat ini.

Melalui kantin sekolah maka makanan akan tersaji fresh, dan menghindari makanan basi. Dengan skala relatif kecil dan lebih terkontrol mestinya cara seperti ini bisa dilakukan di Indonesia. “Sekolah bersama komite sekolah saya kira mampu mengelola ini dengan baik,” urainya.

1. UMKM sekitar sekolah bisa penuhi bahan baku

Agus berpendapat jika diterapkan, kebutuhan bahan baku bisa dipenuhi dari UMKM di sekitar sekolah sehingga tercipta sirkulasi ekonomi yang baik. Sekolah pun mendapatkan dana utuh sebesar Rp15 ribu per porsi, bukan seperti yang terjadi selama ini hanya sekitar Rp7 ribu per porsi.

Alternatif lain, dana bisa diberikan secara tunai kepada siswa, dan melibatkan orangtua untuk membelanjakan dan menyiapkan bekal kepada putra putrinya. Dengan cara seperti ini maka Badan Gizi Nasional hanya perlu menyusun panduan teknis dan melakukan pengawasan. Begitu pula guru di sekolah, jika ada anak yang tidak membawa bekal bisa memberi peringatan.

“Jika sampai satu bulan tidak membawa bisa memanggil orangtuanya, dan jika masih terus terjadi bisa dihentikan. Cara seperti ini saya kira tidak saja menanggulangi praktik pemburu rente, tetapi juga dipercaya akan lebih efektif. Dana dapat ditransfer langsung ke siswa setiap bulan seperti halnya KIP, atau seperti penyaluran BOS,” tuturnya dikutip laman resmi UGM, Jumat (4/10/2025).

2. Hanya untungkan pengusaha besar

Guru Besar Departemen Manajemen FEB UGM, Prof. Agus Sartono. (ugm.ac.id)

Menurut Agus persoalan keracunan MBG jika dirunut sebagai akibat panjangnya rantai penyaluran. Penyaluran MBG melalui Satuan Pendidikan Pelaksana Gizi (SPPG) dinilai hanya menguntungkan pengusaha besar yang mampu terlibat dalam program ini.

Baginya, sungguh menyedihkan jika unit cost Rp15 ribu per porsi per anak pada akhirnya tinggal Rp7 ribu saja.

“Jika margin per porsi diambil Rp2 ribu dan satu SPG melayani 3 ribu porsi, maka per bulan keuntungan yang diperoleh sebesar Rp150 juta atau Rp1,8 miliar per tahun. Secara nasional margin Rp2 ribu dari Rp15 ribu atau sekitar 13 persen merupakan suatu jumlah yang besar. Karenanya implementasi MBG dengan memberikan tunai kepada siswa akan mampu menekan dan menghilangkan kebocoran/keuntungan pemburu rente sebesar Rp33,3 triliun. Jadikan MBG benar-benar sebagai Makan Bergizi Gratis bagi siswa,” jelasnya.

3. Berikan peran ke pemerintah daerah

Agus Sartono berpandangan ada baiknya daerah diberikan kewenangan sesuai undang-undang, dan Badan Gizi Nasional (BGN) hanya melakukan monitoring. Dengan cara dan pemberdayaan Pemerintahan Daerah, menurutnya, akan menjamin kemudahan dalam koordinasi dan tingkat keberhasilan akan jauh lebih baik.

Sesungguhnya sudah banyak program yang sasaran dan basisnya mengarah untuk siswa serta masyarakat tidak mampu seperti Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Kartu Indonesia Pintar (KIP), Program Keluarga Harapan (PKH) dan bantuan sosial atau bansos. Program-program tersebut selama ini menyasar setidaknya 20 persen pada keluarga tidak mampu. Pada tahun 2010 penyaluran BOS sempat mengalami persoalan dan akhirnya didistribusikan langsung ke satuan pendidikan, dan BOS ini diberikan ke sekolah/madrasah/satuan pendidikan berbasis pada besar kecilnya siswa.

“Pertanyaannya, kenapa MBG yang tujuannya sangat bagus tidak dilakukan menggunakan mekanisme yang sudah ada? Bukankah UU No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah telah mengatur bahwa pendidikan merupakan urusan konkuren dan daerah diberi kewenangan? Kabupaten/Kota mengelola SD/SMP, Provinsi mengelola SMK/SMA dan pendidikan berbasis agama masih di bawah Kemenag,” ungkapnya.

Editorial Team