Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Makan Bergizi Gratis (MBG) di SDN Serangan. (IDN Times/Herlambang Jati Kusumo)
Makan Bergizi Gratis (MBG) di SDN Serangan. (IDN Times/Herlambang Jati Kusumo)

Intinya sih...

  • Guru Besar UGM Prof. Sri Raharjo menilai target program Makan Bergizi Gratis (MBG) terlalu dipaksakan, dengan 80 juta siswa dan 30 ribu dapur SPPG sejak tahun pertama.

  • Ia menyoroti lemahnya pengawasan, minimnya tenaga Badan Gizi Nasional, serta risiko keamanan pangan yang berujung kasus keracunan berulang.

  • Sri menekankan perlunya payung hukum khusus, serta peran sekolah dan orangtua dalam menyikapi kesiapan program.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Sleman, IDN Times – Kasus keracunan akibat program Makan Bergizi Gratis (MBG) kembali mencuat di sejumlah daerah. Kondisi ini menarik perhatian akademisi, termasuk Guru Besar Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian UGM, Prof. Dr. Ir. Sri Raharjo, yang menilai persoalan utama ada pada lemahnya pengawasan serta target besar yang dipaksakan dalam waktu singkat.

Sejak digulirkan pada Januari 2025, ribuan siswa dilaporkan mengalami keracunan di berbagai wilayah, antara lain di Baubau, Banggai, dan Garut. Alih-alih memperbaiki gizi peserta didik, peristiwa ini menimbulkan pertanyaan soal kesiapan pengelolaan program.

1. Target besar dinilai terlalu terburu-buru

Ilustrasi pelaksanaan Makan Bergizi Gratis (MBG). (IDN Times/Tunggul Damarjati)

Menurut Prof. Sri Raharjo, rencana pemerintah menyasar 80 juta siswa di tahun pertama sesuai arahan Presiden Prabowo terbilang terlalu dipaksakan.

“Istilahnya too much too soon, apalagi membangun 30 ribu unit dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) membutuhkan biaya, tenaga, dan sistem yang tidak kecil,” ujarnya, Jumat (26/9/2025) dilansir laman resmi UGM.

2. Pengawasan lemah jadi akar masalah

Ilustrasi penyiapan makanan makan bergizi gratis. (dok. PPJI Jateng)

Prof. Sri menekankan kualitas serta keamanan pangan seharusnya menjadi prioritas utama. Ia menilai kasus berulang ini muncul karena pengawasan sejak awal tidak berjalan baik.

“Jika siswa yang ditargetkan semakin banyak, jumlah SPPG semakin hari juga semakin banyak, tetapi pengawasannya tetap lemah, hal ini relevan dengan kasus keracunan yang meningkat. Apalagi memasak ribuan porsi dalam waktu singkat berpotensi membuat makanan yang tidak matang merata hingga risiko adanya zat beracun dan bakteri patogen yang masih hidup,” jelasnya.

Menurutnya, Badan Gizi Nasional (BGN) sebagai lembaga baru belum memiliki cukup tenaga, sementara kesiapan SPPG juga masih terbatas.

3. Perlu payung hukum dan peran sekolah serta orangtua

SPPG menyiapkan paket makanan program Makan Bergizi Gratis (MBG) (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Lebih lanjut, Sri menyebut pentingnya aturan khusus yang menjadi landasan program MBG. “Idealnya ada aturan khusus yang mengatur, seperti di Jepang yang memiliki undang-undang resmi tentang makan siang di sekolah. Namun, pembentukan undang-undang tentu membutuhkan waktu,” paparnya.

Ia menambahkan, sekolah dan orangtua berhak menentukan sikap atas program tersebut. “Jika mereka merasa program belum siap, mereka bisa menolak dan tidak bisa dipidanakan,” tegasnya.

Prof. Sri mengingatkan, kegagalan mengelola MBG akan membawa dampak panjang, mulai dari turunnya kepercayaan publik hingga gangguan kesehatan anak, seperti diare dan penurunan nafsu makan. Hal ini bertolak belakang dengan tujuan awal meningkatkan gizi. Ia menekankan perlunya evaluasi menyeluruh dan pendataan status gizi siswa sejak awal hingga akhir tahun pertama program berjalan. Menurutnya, hal itu krusial agar kasus serupa tidak terus berulang di masa mendatang.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team