ilustrasi. Para karyawan yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja di Sukoharjo, Jawa Tengah, pada 2019. ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha
Resesi mengancam ekonomi global pada tahun 2023. Padahal, berdasarkan data Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mencatat sebanyak 73 ribu orang yang di-PHK sepanjang Januari-Oktober 2022. Jumlah itu belum termasuk buruh yang tidak tergabung di Apindo.
"Pelemahan permintaan global akan menahan laju ekspor dan berdampak dari sektor tekstil dan produk tekstil," kata Menteri Koordinator Perekonomian, Airlangga Hartato, dalam konferensi persnya Senin (7/11/2022).
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menilai ada kejanggalan dalam fenomena pemutusan hubungan kerja (PHK) masal di sejumlah perusahaan besar seperti tekstil, fintech, edutech, dan berbagai perusahaan teknologi lainnya.
"LBH Jakarta melihat terdapat kejanggalan dalam proses PHK masal ini.
Pertama, hingga saat ini tidak ada dialog atau musyawarah terbuka antara publik, kelompok pekerja, pengusaha atau perusahaan, dan pemerintah untuk membincangkan masalah gelombang PHK masal dan mitigasi resikonya," ujar LBH Jakarta dalam siaran pers, Jumat (2/12/2022).
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tepatnya Pasal 151 Ayat 1, telah dimandatkan bahwa pengusaha, pekerja (buruh), serikat pekerja atau serikat buruh, dan pemerintah dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi PHK.
LBH Jakarta menilai pemerintah tak serius untuk mencegah terjadinya gelombang PHK masal. Pemerintah seharusnya mempunyai tanggung jawab mengatasi masalah gelombang PHK masal dan dampaknya.
"Hingga kini belum ada strategi konkret pemerintah untuk menghindari dan atasi dampak PHK masal di beberapa sektor industri,. Termasuk upaya menjamin perlindungan pekerja dan jaring pengaman sosial yang tepat bagi pekerja terdampak PHK," kata dia
Pemerintah juga diharapkan bisa mengambil tindakan mitigasi pada pekerja yang di PHK dan merumuskan perlindungan pada buruh. Pasalnya, gelombang PHK berdampak pada hilangnya mata pencaharian ekonomi, meningkatkan angka kemiskinan, hingga krisis multidimensi sebagaimana yang terjadi pada tahun 1997-1998.
Secara normatif, tanggung jawab tersebut tertera dalam sejumlah ketentuan hukum seperti UUD 1945, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU Nomor 11 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya.
Kemudian, UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, PP Nomor 37 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan, serta berbagai aturan hukum lainnya.
"LBH Jakarta mendorong pemerintah untuk mengupayakan musyawarah terbuka dan membuat kebijakan mitigasi penanganan PHK, serta mengontrol perusahaan yang melakukan PHK untuk transparan atas laporan keuangannya," kata LBH.
Penulis:
Masdalena Napitupulu, Indah Permatasri, Sri Wibisono, Debbie Sutrisno, Wayan Antara, Tama Wiguna, Lia Hutasoit, Herlambang Jati, Febriana Sinta