Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Jumpa pers FPB-S/N-YPF 2025, di Garasi Performance Institute, Jumat (25/7/2025). (IDN Times/Herlambang Jati Kusumo)

Yogyakarta, IDN Times – Garasi Performance Institute (GPI) menggelar Festival Pertunjukan Belum-Sudah/Not-Yet Performance Festival (FPB-S/N-YPF) 2025 mulai Jumat, 25 Juli hingga Kamis, 31 Juli 2025. Festival dua tahunan ini menjadi ruang pertemuan dan perayaan atas proses inkubasi pertunjukan dari berbagai wilayah budaya di Indonesia.

Rangkaian acara festival mencakup pementasan karya, simposium, dan pencatatan pengetahuan yang bertumpu pada praktik seni pertunjukan yang kritis dan lintas disiplin. Lokasi pelaksanaan tersebar di sejumlah tempat, yakni Studio GPI, Museum Benteng Vredeburg, Sarang Building, Kedai Kebun Forum, IFI Yogyakarta, serta ARTJOG di Jogja National Museum (JNM).

1. Dorong percakapan terbuka dan kritis

FPB-S/N-YPF 2025,. (Dok. Istimewa)

FPB-S/N-YPF dirancang sebagai ruang untuk mendorong percakapan terbuka dan kritis antara seniman, akademisi, produser, peneliti, dan penonton. Dengan mengusung kerangka berpikir dan bertindak melalui serta bersama pertunjukan, festival ini berupaya untuk membaca serta merawat estetika selatan dunia.

Mengusung tema Gelagat Liar, edisi perdana FPB-S/N-YPF memantulkan gagasan bahwa ruang pertunjukan adalah ruang pertemuan dunia yang jamak akan sejarah dan masa depan yang menjalar dan tak tunggal: soal ketubuhan, gender, ras, dan lokasi budaya. Gelagat Liar menandai praktik-praktik pertunjukan yang berangkat dari celah dan retakan pada arsip, norma sosial, konvensi artistik, maupun skenario kuasa tertentu.

“Kami membayangkan festival bukan sebagai panggung seleksi atau konsumsi, melainkan sebagai medan afektif di mana kontak, dengar, dan pertemuan menjadi prinsip utama dari praktik artistik untuk menyulam kesetiakawanan dalam membangun resistensi pun resiliensi di tengah dunia yang semakin menunjukkan ketimpangan,” ujar Ko-Direktur Artistik, Eka Wahyuni, saat konferensi pers, Jumat (25/7/2025).

Duo Kurator, Mega Nur dan Taufik Darwis mengatakan dalam festival ini, penonton tidak diposisikan secara pasif tetapi diundang untuk terlibat aktif. “Melihat secara lekat, mencari, menavigasi, dan membincangkan bentuk-bentuk ‘keliaran’ yang tumbuh dari persimpangan dan percabangan pengalaman serta pengetahuan,” ujar Mega.

2. Sembilan karya akan ditampilkan

The Lovers. (Dok. Istimewa)

Sembilan karya akan ditampilkan dalam gelaran ini, yaitu Yang Menyelinap tak Mau Lesap karya Studio Malya, Reza Kutjh & Rifki Akbar Pratama, mengajak penonton mengalami pertunjukan naratif-gamifikasi di Museum Benteng Vredeburg. Putu Alit Panca & Taman Kata-Kata (Yogyakarta) menghadirkan karya pertunjukan Wicara Kepahitan mengadaptasi “Speak Bitterness” dari Forced Entertainment, menciptakan ruang pengakuan anonim yang mengalir dalam fragmen emosi dan ingatan, menyoroti ketegangan identitas dan sejarah kekerasan struktural.

Lalu ada, Rachmat Mustamin & Studio Patodongi (Makassar) Kebun Warisan meleburkan waktu dan narasi untuk menelusuri ingatan kebun sebagai ruang jejak konflik dan mitos sejarah gerakan Darul Islam/TII di Sulawesi Selatan, mempertemukan tokoh-tokoh seperti Pewaris, Hantu, Gorilla dan Kahar Muzakkar. Semua yang Solid akan Hilang, Tidak dengan Memori karya Aliansyah Caniago menelusuri jejak pohon kamper di Barus melalui tubuh dan arsip, menghidupkan memori Batak serta jejak kolonial dalam gerak elektone TorTor.

Kemudian, Autolysis karya Enji Sekar menjadikan proses biokimia sebagai metafora koreografi, mengundang penonton merasakan tari dalam ruang sensorium gelap. The Other Half: After-Forced karya Puri Senja menyusun tubuh sebagai arena friksi antara warisan militer dan sejarah politik, sementara Lampiran Cyclofemmes karya Ishvara Devi menafsir ulang figur Mak Lampir dan pengalaman transpuan sebagai perlawanan terhadap norma, ketakutan kolektif, dan kekuasaan patriarkal, menggunakan estetika queer-camp berbasis tubuh dan arsip populer; Mak Lampir. Terakhir, 24 Jam Lembâna di Jogja menjadikan Madura sebagai metode gerilya, menghadirkan ragam penampil dan mengajak penonton untuk “lébur” dalam ruang-waktu berdurasi panjang, 24 jam penuh.

3. 10 sesi simposium

The Other Half: After-Forced. (Dok. Istimewa)

Bersama dengan program pertunjukan, akan hadir 10 sesi simposium yang terbagi menjadi tiga sesi. Pertama, simposium pembuka untuk membincangkan kuratorial dan pengantar festival. Kedua, simposium karya untuk membincangkan masing-masing karya yang ditampilkan, dan ketiga simposium penutup untuk memulung berbagai catatan dan percakapan tentang karya serta "gelagat liar" yang terjadi selama festival berlangsung.

Simposium ini merupakan upaya mendorong ekosistem pembentukan wacana kritis pertunjukan di Indonesia secara berkelanjutan. Menggunakan kritik sebagai moda pengayaan karya dan menghadirkan forum penonton yang partisipatif serta kolektif, serta berpijak pada dua cara kerja: berpikir bersama pertunjukan dan pembacaan reparatif.

Melengkapi festival, sebagai wujud dari awalan dokumentasi pengetahuan yang dilakukan oleh GPI, pembukaan festival juga menjadi momen untuk meluncurkan terbitan terbarunya, Mukadimah Gelagat Liar: Surat Kepercayaan Pertunjukan dari Selatan. Buku ini menghimpun empat belas tulisan yang lahir dari beragam proyek penciptaan seni dan inisiatif program, baik yang secara langsung maupun tidak langsung terhubung dengan praktik dan jejaring Garasi Performance Institute sejak tahun 2017. Seluruh artikel ditulis oleh seniman dan/atau inisiator proyek, yang dalam berbagai cara turut terlibat dalam dinamika pertunjukan kontemporer di Indonesia.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team