Ilustrasi bioskop (unsplash/ Felix Mooneeram)
Dalam menyampaikan sarannya tersebut, Fadli bermaksud merespons ekosistem perfilman di Tanah Air yang belakangan terus tumbuh berkembang ke arah positif. Di saat bersamaan, insan perfilman juga menyuarakan kurangnya layar-layar bioskop di Indonesia, salah satu contohnya di Sumatera Barat.
"Yang kita kurang justru bioskop-bioskop itu, layar-layar itu. Di Sumatera Barat yang ada bioskop hanya ada di Kota Padang. Jadi orang misalnya dari Bukittinggi atau Payakumbuh harus tiga jam kalau mau datang menonton bioskop. Jadi kurang. Ini padahal di masa lalu bioskop-bioskop itu hidup," ujarnya.
Perihal konsep menikmati film melalui platform OTT (Over-The-Top), Fadli paham sepenuhnya. Walapun, menurut dia, kualitas suara, gambar, dan sensasi menonton di rumah tak akan sebaik di bioskop. Dengan alasan itu pula, Kementerian Kebudayaan mendorong sektor swasta untuk berpartisipasi mengembangkan bioskop-bioskop di daerah.
Fadli membeberkan, awal Desember 2024 kemarin telah didirikan 51 layar bioskop di total 17 kabupaten/kota se-Pulau Jawa dan menurutnya ini penting demi menumbuhkembangkan ekosistem perfilman di Indonesia.
"Jadi di bioskop itu, selain menonton film, apalagi film-film Indonesia, juga ada kulinernya, ada mungkin tempat untuk diskusinya, dan sebagainya. Jadi itu suatu ekosistem, environment. Nah, jadi termasuk di Aceh juga ya, memang di Aceh mungkin masih ada kendala terkait dengan Qanun. Nah, tentu harus ada adaptasi," tutupnya.