ilustrasi pasir (unsplash.com/Igor Karimov)
Menurut Andi, Indonesia juga masih memiliki persoalan belum terselesaikan terkait batas maritim, khususnya dengan Singapura. Ekspor pasir laut yang sempat dilakukan sebagian besar memang ditujukan ke negara tersebut untuk kebutuhan reklamasi daratan. Tanpa kesepakatan batas wilayah laut, potensi kerugian negara bisa muncul.
“Kalau dilihat ini merupakan langkah yang baik sebetulnya. Tapi pertanyaannya, pasir laut yang sudah dikeruk ini mau dikelola seperti apa karena sudah tidak bisa diekspor,” ucap Andi.
Ia berharap pemerintah tidak hanya menghentikan ekspor, tetapi juga menyiapkan langkah pengelolaan sumber daya hasil pengerukan agar tidak menjadi beban lingkungan baru.
“Pertanyaannya inilah yang perlu dijawab oleh pemerintah. Jangan sampai adanya kebijakan pelarangan ekspor justru menimbulkan dampak ekologis yang lebih besar lagi,” tutupnya.
Larangan ekspor pasir laut kini telah mendapatkan legitimasi hukum dari Mahkamah Agung. Namun, langkah tersebut baru sebatas penegakan aturan, belum menyentuh aspek pengelolaan jangka panjang.
Seperti disampaikan oleh pakar UGM, dibutuhkan kejelasan strategi atas pasir yang telah dikeruk, baik dari sisi tata kelola maupun urgensi ekologisnya. Jika tidak segera dijawab, kebijakan pelarangan bisa menjadi awal dari persoalan baru bagi ekosistem laut Indonesia.