Ekspor Pasir Laut Dilarang MA, Ini Pendapat Pakar UGM

Yogyakarta, IDN Times – Mahkamah Agung (MA) telah mengabulkan permohonan uji materiil terhadap sejumlah pasal dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. Putusan tersebut melarang penjualan pasir laut, termasuk aktivitas ekspor yang sempat dibuka kembali oleh pemerintah.
Menanggapi hal ini, Pakar Geodesi Universitas Gadjah Mada (UGM), I Made Andi Arsana, menyatakan bahwa langkah uji materiil merupakan inisiatif positif. Namun, ia juga mengingatkan bahwa kebijakan pelarangan ekspor harus dibarengi dengan strategi pengelolaan yang jelas agar tidak menimbulkan dampak baru bagi lingkungan.
1. MA menyatakan pasal ekspor pasir laut bertentangan dengan UU Kelautan

Dalam putusannya, Mahkamah Agung menyatakan bahwa Pasal 10 ayat (2), (3), dan (4) dalam PP 26/2023 bertentangan dengan Pasal 56 UU Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan. Amar putusan tertuang dalam Putusan Nomor 5 P/HUM/2025, yang diputuskan pada 2 Januari 2025 oleh Majelis Hakim yang diketuai Dr. Irfan Fachruddin.
“Memerintahkan kepada Termohon (Presiden cq Menteri Terkait, red) untuk mencabut Pasal 10 ayat (2), Pasal 10 ayat (3) dan Pasal 10 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut,” demikian bunyi amar putusan sebagaimana dilansir Hukumonline.
Dengan demikian, pemerintah tidak memiliki dasar hukum lagi untuk menjual pasir laut dari hasil pengerukan sedimentasi.
2. Pakar UGM: Ekspor bisa timbulkan kesan orientasi ekonomi

Dilansir laman resmi UGM, I Made Andi Arsana menyatakan bahwa meskipun pengerukan sedimentasi laut memang dibutuhkan dalam konteks pemeliharaan ekosistem dan pelayaran, pemanfaatan hasilnya perlu ditata secara hati-hati. Ia menyoroti bahwa dalam PP tersebut, ekspor diizinkan hanya setelah kebutuhan nasional terpenuhi. Namun, narasi tersebut dinilai berisiko disalahartikan.
“Dalam PP itu disebutkan ada empat pemanfaatan pasir laut, bisa untuk reklamasi pembangunan, baru di akhir disebutkan jika kebutuhan nasional sudah terpenuhi, maka pasir bisa diekspor,” ujar Andi, Senin (14/7/2025).
“Dengan kata lain, aktivitas pengerukan pasir laut dikhawatirkan timbul bukan untuk fungsi pemeliharaan namun ada tujuan nilai ekonomi yang dikejar,” katanya.
Andi mendukung uji materiil ini sebagai langkah korektif, terutama untuk menghindari kerusakan lingkungan yang lebih luas.
3. Masalah batas maritim dan nasib pasir yang sudah dikeruk

Menurut Andi, Indonesia juga masih memiliki persoalan belum terselesaikan terkait batas maritim, khususnya dengan Singapura. Ekspor pasir laut yang sempat dilakukan sebagian besar memang ditujukan ke negara tersebut untuk kebutuhan reklamasi daratan. Tanpa kesepakatan batas wilayah laut, potensi kerugian negara bisa muncul.
“Kalau dilihat ini merupakan langkah yang baik sebetulnya. Tapi pertanyaannya, pasir laut yang sudah dikeruk ini mau dikelola seperti apa karena sudah tidak bisa diekspor,” ucap Andi.
Ia berharap pemerintah tidak hanya menghentikan ekspor, tetapi juga menyiapkan langkah pengelolaan sumber daya hasil pengerukan agar tidak menjadi beban lingkungan baru.
“Pertanyaannya inilah yang perlu dijawab oleh pemerintah. Jangan sampai adanya kebijakan pelarangan ekspor justru menimbulkan dampak ekologis yang lebih besar lagi,” tutupnya.
Larangan ekspor pasir laut kini telah mendapatkan legitimasi hukum dari Mahkamah Agung. Namun, langkah tersebut baru sebatas penegakan aturan, belum menyentuh aspek pengelolaan jangka panjang.
Seperti disampaikan oleh pakar UGM, dibutuhkan kejelasan strategi atas pasir yang telah dikeruk, baik dari sisi tata kelola maupun urgensi ekologisnya. Jika tidak segera dijawab, kebijakan pelarangan bisa menjadi awal dari persoalan baru bagi ekosistem laut Indonesia.