Sleman, IDN Times – Setiap hari, Sumarno harus berjibaku dengan bau sampah yang menyengat, debu yang beterbangan, serta keterbatasan alat angkut. Sebagai Kepala UPTD Pelayanan Pasar Wilayah IV Sleman, ia pernah mengurus sedikitnya lima ton sampah hanya dari Pasar Prambanan saja. Jika digabung dengan tujuh pasar lain yang ia kelola, volume harian bisa mencapai 6–7 ton. Namun ironisnya, satu-satunya alat angkut yang mereka miliki saat itu hanyalah sebuah sepeda motor bak terbuka.
"Alat angkut itu hanya punya satu tosa (merek motor dengan bak terbuka). Waktu itu masih disayang-sayang, jangan sampai rusak," kenang Sumarno. Tapi apa daya, meningkatnya volume sampah akhirnya membuat motor bak terbuka itu menyerah juga. “Sampai patah gardannya,” tambahnya.
Tak tinggal diam, komunitas pedagang Pasar Prambanan pun patungan. Gotong royong itu membuahkan sebuah mobil pikap bekas yang kini menggantikan peran motor bak. Namun Sumarno paham, tanpa sistem pengelolaan sampah yang memadai, armada itu hanya soal menunggu waktu untuk kembali tumbang.
Karena itu, strategi baru pun dijalankan: bukan hanya mengangkut, tapi mengurangi. Alih-alih langsung membuang, mereka mulai memilah dan mengolah. Hasilnya? Frekuensi angkut berkurang drastis. Jika dulu satu truk diperlukan setiap hari, kini cukup satu truk untuk tiga hari.