Pakar UGM Tegas Menolak Hari Kebudayaan Nasional, Ini Pendapatnya

- Kebudayaan bukan seremoni tahunan
- Semangat kebudayaan perlu praktik berkelanjutan
- Tanggal 17 Oktober resmi diperingati sebagai Hari Kebudayaan
Yogyakarta, IDN Times - Penolakan terhadap penetapan 17 Oktober sebagai Hari Kebudayaan Nasional disampaikan oleh sejumlah akademisi, termasuk pakar kebudayaan dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Dr. Aprinus Salam. Ia menyatakan dengan tegas bahwa dirinya tidak sepakat dengan keputusan Menteri Kebudayaan Fadli Zon tersebut.
“Saya tidak pernah setuju kalau ada Hari Kebudayaan Nasional. Setiap hari adalah hari kebudayaan,” kata Aprinus, Senin (21/7/2025) dilansir laman resmi UGM.
1. Kebudayaan bukan seremoni tahunan
Aprinus menilai penetapan satu hari khusus untuk kebudayaan justru mempersempit makna kebudayaan itu sendiri. Baginya, kebudayaan tidak hanya dimaknai sebagai perayaan atau seremoni tahunan, tetapi hadir dalam keseharian masyarakat.
“Kenapa kebudayaan harus diisolasi menjadi satu momen tertentu? Seolah-olah hari-hari lain tidak penting. Padahal, kebudayaan itu hidup setiap hari dalam praktik, dalam hubungan antarmanusia, dalam penghargaan dan penghormatan,” tegasnya.
2. Semangat kebudayaan perlu praktik berkelanjutan
Aprinus juga mengkritik penetapan hari kebudayaan nasional karena dinilai dapat membuat masyarakat hanya terfokus pada perayaan di satu hari saja. Ia khawatir hal itu justru mendorong masyarakat terjebak dalam ritual tahunan yang mengabaikan penerapan nilai-nilai kebudayaan dalam kehidupan sehari-hari.
“Orang nanti hanya berkonsentrasi memperingati Hari Kebudayaan tanggal 17 Oktober. Seolah-olah hari-hari lain bukan hari kebudayaan,” katanya.
Ia menegaskan bahwa kebudayaan tidak seharusnya diperingati, melainkan dihidupi. Menurutnya, semangat kebudayaan membutuhkan praktik yang berkelanjutan dan relevan dalam kehidupan sosial, bukan seremoni semata.
3. Tanggal 17 Oktober resmi diperingati sebagai Hari Kebudayaan

Sebelumnya diberitakan, Pemerintah melalui Menteri Kebudayaan Republik Indonesia, Fadli Zon, secara resmi menetapkan tanggal 17 Oktober sebagai Hari Kebudayaan. Penetapan ini tertuang dalam Keputusan Menteri Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 162/M/2025 tentang Hari Kebudayaan.
Dalam keputusan tersebut, Fadli Zon menegaskan pentingnya pengakuan nasional terhadap kebudayaan Indonesia sebagai fondasi dan instrumen strategis dalam pembangunan karakter bangsa. "Menetapkan tanggal 17 Oktober sebagai Hari Kebudayaan," tulis keputusan tersebut dikutip, Minggu (13/7/2025).
Fadli Zon menerangkan keputusan tersebut berdasarkan pada perlunya pelestarian dan pemajuan kebudayaan dilaksanakan untuk memantapkan peran dan posisi Indonesia dalam memengaruhi arah perkembangan peradaban dunia untuk membangun masa depan dan peradaban bangsa demi terwujudnya tujuan nasional sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
"Bahwa pengakuan secara nasional terhadap kebudayaan nasional Indonesia perlu ditetapkan Hari Kebudayaan," katanya.
Sementara, Nano Asmorodono, maestro seni ketoprak asal DIY yang juga salah seorang inisiator HKN yang tergabung dalam Tim Garuda Sembilan Plus, tanggal tersebut merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 1951 yang ditandatangani oleh Presiden Sukarno dan Perdana Menteri Sukiman Wirjosandjojo pada 17 Oktober 1951.
Dalam peraturan itu, pemerintah menetapkan Garuda Pancasila sebagai Lambang Negara Indonesia, dengan identitas bangsa melalui semboyan 'Bhinneka Tunggal Ika' yang berarti 'berbeda-beda tapi tetap satu'. Bagi tim, semboyan ini menegaskan persatuan dalam keberagaman. Realitas geografis Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau melukiskan keragaman suku, budaya, dan bahasa di Tanah Air.
Nano mengatakan jika ia sama sekali tak tahu kapan hari ulang tahun Prabowo Subianto. Kesamaan hari yang dipersoalkan banyak pihak, menurut Nano, hanyalah sebuah kebetulan saja.
Dirinya juga mengklaim bukan orang-orang di barisan Prabowo. Sebagai bukti, dia mencoblos Ganjar Pranowo saat Pilpres 2024 kemarin.
"Kalau itu bertepatan dengan lahirnya Pak Prabowo, saya malah nggak tau aku nggak tau, aku nggak ngerti lahirnya Pak Prabowo kapan, lahirnya Pak Jokowi kapan," imbuh Nano.