Gedung UPN "Veteran" Yogyakarta. (Dok. Istimewa)
Lagipula, menurut JS, apa yang tertulis di surat soal perbuatannya tak seratus persen benar. Dia menyebut, surat itu disusun oleh Satgas PPKS dan Wakil Rektor II.
Kronologi kejadian versi dirinya, berawal ketika 16 mahasiswa tingkat akhir dari Fakultas Teknologi Mineral, termasuk korban yang belum lulus dan menjadi anak bimbingannya.
JS menjadi dosen pembimbing agar 16 mahasiswa bisa selamat dari ancaman drop out, dan segera menyelesaikan studi.
"Terus saya panggil 16 orang itu untuk ke ruangan saya, kemudian saya sebenarnya menyayangi dia (korban) untuk segera lulus. Saya rangkul ya. Nah, tapi ternyata dia tidak berkenan, saya rangkul, saya sikep gitu, tidak berkenan, bahwa itu adalah pelecehan kalau (menurut) dia itu," bebernya.
JS sendiri mengklaim apa yang dilakukannya hanya untuk menyemangati para mahasiswa bimbingannya. Hal tersebut menurutnya tidak hanya dilakukan ke korban saja, namun dia mengakui bahwa apa yang ia lakukan itu memang tanpa persetujuan korban.
Selanjutnya, dirinya bertemu dengan korban dan meminta maaf hingga keluar surat keputusan. Menurut JS isinya tetap mengganjal di benaknya, selain detail kejadian, dia tak menduga sanksinya bakal berat. Pasalnya, sesuai kesepakatan, sanksinya berupa larangan membimbing mahasiswa S1.
"Waktu itu keputusannya hanya saya tidak boleh membimbing anak-anak S1, kok terus keputusannya jadi tidak boleh mengajar selama dua tahun, tidak boleh membimbing. Nah itu tanpa sepengetahuan saya, itu langsung rektor tandatangan," ungkapnya.
Menurutnya terdapat waktu 14 hari untuk menyanggah sanksi itu. Namun, bagi JS, percuma karena sanksi sudah ditetapkan rektor ketika ia diminta menandatangani surat pernyataan permohonan maaf itu.
"Terus alasannya dalam 14 hari nggak menyanggah, dikira sudah menerima, bukan begitu. Alasannya ini sudah menjadi keputusan rektor, nggak bisa diubah. Tapi, sebenarnya nggak seperti itu, saya nggak sejelek itu," ucapnya.