Ilustrasi Media Sosial (unsplash.com/id/@meymigrou)
Praktisi komunikasi, Agus Sudibyo, menilai retorika para pemimpin saat ini sangat dipengaruhi perkembangan teknologi. Menurutnya, transformasi digital mengubah lanskap media, dari dominasi media lama ke media baru. Ia menyebut media massa konvensional kini jarang disebut sebagai mainstream media dan lebih sering dipandang sebagai traditional mass media.
“Arus utama dikuasai oleh digital. Tetapi sebenarnya bukan hanya disrupsi dan transformasi, tapi juga merger dan hibridisasi antara ilmu komunikasi dan ilmu komputasi,” jelasnya.
Agus menambahkan, perusahaan media dan teknologi kini semakin sulit dipisahkan. Televisi dan radio, kata dia, sudah tak lagi relevan disebut mainstream media, karena arus media massa lebih cepat beralih ke digital. Di sisi lain, media sosial kerap mencampuradukkan informasi, iklan, hingga hiburan, sehingga sulit dibedakan.
“Pada awalnya mereka mendaku sebagai perusahaan teknologi, bukan perusahaan media. Dalam setiap penyebaran hoaks di luar negeri, bukan hanya individu penyebar yang diproses hukum, tapi juga platform tempat hoaks itu disebarkan,” tegasnya.
Ia menilai hoaks justru menguntungkan platform karena meningkatkan trafik dan berujung pada keuntungan finansial. Oleh karena itu, media sosial idealnya dipandang sekaligus sebagai perusahaan teknologi dan media yang memiliki tanggung jawab atas informasi yang tersebar.
“Jika kita menggunakan media sosial, coba bayangkan kita sedang berbicara dengan banyak orang, sehingga kehati-hatian dalam berkomunikasi harus ditingkatkan dan tidak sembarang bicara,” ujar Agus Sudibyo.