Suasana bazar kuliner di Ramadan Fair Medan (IDN Times/Indah Permata Sari)
Ramadan Fair di Medan, Sumatra Utara, telah menjadi tradisi selama 19 tahun, menghadirkan festival kuliner dan perlengkapan Lebaran di sekitar Masjid Raya Al-Mashun. Bahkan, beberapa tahun terakhir, acara ini digelar di dua lokasi untuk menampung antusiasme pengunjung. Namun, Ramadan Fair ke-19 tahun ini terasa berbeda.
Sejumlah pedagang mengaku omzet mereka menurun dibanding tahun sebelumnya. Pengunjung yang biasanya memadati area festival kini jauh berkurang. Kondisi ini mencerminkan melemahnya daya beli masyarakat di tengah berbagai tantangan ekonomi.
Eva, pemilik tenant Dapoer BYSBY, mengungkapkan bahwa jumlah pembeli tahun ini menurun drastis hingga 50 persen dibandingkan tahun sebelumnya. "Kalau jumlah pembeli dibandingkan tahun 2024 itu persentasenya berkurang hampir 50 persen, artinya ini cukup sepi," ucap Eva, Jumat (14/3/2025).
Hal serupa dialami Suciati, pemilik tenant Steamboat yang sudah empat tahun mengikuti Ramadan Fair. Tahun ini, omzetnya anjlok hingga separuh dari tahun sebelumnya. Tahun lalu bisa dapat Rp2 juta per malam, sekarang hanya Rp1 juta," ujarnya.
Di Way Halim, Bandar Lampung, Lampung, Ernawati, produsen cincau hitam, mengaku penjualannya pada Ramadan 2025 mengalami penurunan drastis. “Tahun lalu (2024) sebenarnya sudah sepi. Tapi tahun ini lebih sepi dibandingkan tahun lalu,” ujarnya, Senin (10/3/2025). Jika sebelumnya ia bisa memproduksi hingga 100 loyang cincau hitam per hari, kini jumlahnya bahkan belum mencapai 50 loyang.
Tak hanya cincau hitam, penjualan produk lain seperti cendol dan jeli juga ikut lesu. “Kalau cendol, dulu bisa habis tiga karung, masing-masing 75 kilogram. Sekarang jauh berkurang, paling cuma satu karung,” katanya. Biasanya, permintaan meningkat selama Ramadan, tetapi tahun ini hanya ramai di hari pertama.
Di Palembang, Sumatera Selatan, pemilik kafe dan kedai makan, Bob Adyos, mengaku mengalami penurunan omzet hingga 30 persen sejak awal 2025. Ia menyebut menurunnya jumlah pelanggan menjadi faktor utama. “Sebagai pemilik bisnis saya merasakan adanya penurunan omzet yang signifikan. Kami terus melakukan berbagai strategi pemasaran dan perbaikan layanan namun hasilnya belum memuaskan,” ujarnya, Jumat (14/3/2025). Sebelumnya, usahanya bisa meraih omzet hingga Rp1,5 juta per hari, tetapi kini turun di bawah Rp1 juta.
Untuk bertahan, Adyos mengurangi ongkos produksi dan operasional sambil memantau kondisi ke depan. “Saya merasakan dampak dari menurunnya minat masyarakat dalam membelanjakan uangnya akhir-akhir ini. Jumlah pembeli terus menurun dan meskipun kami sudah berusaha menawarkan promo dan diskon tetap saja sulit untuk menarik perhatian konsumen,” jelasnya.
Lena, pemilik usaha makanan beku di Palembang, merasakan dampak turunnya daya beli masyarakat yang semakin nyata, bahkan di bulan Ramadan. Biasanya, pelanggan membeli makanan beku dalam jumlah besar untuk stok, tetapi kini mereka lebih memilih belanja bertahap sesuai kebutuhan. "Dalam seminggu, ada dua hari yang benar-benar sepi, yang membuat kami harus melakukan upaya lain untuk bertahan," ungkapnya.
Penurunan omzet sudah terasa sejak awal bulan, dengan fluktuasi tajam dibanding tahun sebelumnya. "Dulu, kami bisa mencapai omzet sekitar Rp2 juta per hari, namun kini hanya sekitar Rp500 ribu per hari. Ya, penurunan ini sangat terasa," jelasnya.
Di Magetan, Jawa Timur, pedagang bahan takjil di Pasar Sayur Magetan mengeluhkan sepinya pembeli sejak H+3 Ramadan. Ponirah, pedagang cincau, mengatakan dagangannya laris di awal Ramadan, hingga ia harus mengambil empat ember cincau dari produsen. Namun kini, ia hanya berani membawa dua ember karena permintaan menurun drastis.
“Ramainya cuma sampai H+2 Ramadan saja. Sekarang sehari paling laku 20-30 bungkus, itu pun campuran antara cincau hijau, cendol, dan agar-agar,” ujarnya, Selasa (11/3/2025). Pendapatan yang terus menurun membuatnya khawatir, terutama menjelang Lebaran. “Kalau sehari cuma laku 30 bungkus, ya untungnya ngepres sama kebutuhan sehari-hari,” keluhnya.
Hal serupa dialami Ginem, pedagang jajanan pasar. Jika di awal Ramadan ia bisa menjual 100 kue kukus dan 50 kue bikang, kini pendapatannya merosot drastis, hanya Rp50 ribu per hari. “Tahun lalu pas Ramadan penjualan masih stabil. Sekarang, beberapa hari terakhir, banyak dagangan yang harus saya kembalikan karena nggak laku,” tuturnya dengan nada cemas.