Sleman, IDN Times - Literasi bukan sekadar urusan membaca dan menulis, melainkan proses hidup bersama secara sadar terhadap lingkungan, budaya, dan manusia lain. Filosofi inilah yang ditanamkan oleh Yayasan Literasi Desa Tumbuh (LDT).
Noor Huda Ismail, peneliti dan pembuat film dokumenter yang kini menjadi visiting fellow di Rajaratnam School of International Studies (RSIS), Nanyang Technological University (NTU) Singapura, adalah salah satu sosok di balik lahirnya Yayasan LDT.
Aktivitas Yayasan LDT tumbuh subur di atas lahan seluas sekitar 1.800 meter persegi milik Huda di Dusun Betakan, Sumberahayu, Moyudan, Sleman, DI Yogyakarta. Padahal, setahun lalu lokasi ini adalah pekarangan kosong yang nampak 'singup' karena lama tak terurus.
"Ini dulu lahan buat buang jin," seloroh Huda saat ditemui, Minggu (20/7/2024).
Huda bilang, LDT tercetus dari keprihatinan istrinya, Desy Ery Dani, mantan dosen Ilmu Perpustakaan Universitas Diponegoro yang sekarang berdomisili di Singapura. Kala liburan bersama ketiga anaknya di Betakan pertengahan 2024 lalu, Desy melihat langsung minimnya akses anak-anak terhadap buku bacaan berkualitas.
Idenya saat itu adalah mendirikan perpustakaan gratis di atas lahan tersebut. Tapi, Huda memodifikasi gagasan istrinya itu. Dia ingin gerakan yang lebih luas, menggabungkan semangat literasi, pemberdayaan perempuan, penguatan komunitas, dan keberlanjutan.
"Aku bilang, kalau kayak begini nggak akan ada terjadi perubahan, kita harus bikin gerakan. Makanya kita ubah, aku jadikan yayasan ini. Dan fokusnya literasi, desa tumbuh literasi, desa (karena lokasi) di desa, tumbuh ya sustainability (keberlanjutan)," ungkap eks jurnalis Washington Post itu.